Dalam dunia pesantren atau di kalangan para kyai,
sikap tawadhu� dipandang sebagai salah satu ukuran ketinggian akhlak.
Seseorang disebut berakhlak mulia jika yang bersanhgkutan dinilai
berhasil menjaga ketawadhu�annya. Juga para santri disebut memiliki
keunggulan jika mampu menjaga sifat dimaksud. Ukuran keberhasilan
pendidikan pesantren bukan dilihat dari kemampuan menjawab soal-soal
ujian sebagaimana di lembaga pendidikan pada umumnya, tetapi akan
dilihat dari sikap yang berhasil ditunjukkan dimaksud.
Tawadhu� dimaknai sebagai sikap merendahkan diri, dan sebaliknya menghormat dan atau mengutamakan dan memuliakan orang lain. Sebagai gambaran sederhana, seorang disebut tawadhu�, manakala selalu merendah di hadapan orang lain, dan apalagi terhadap orang yang lebih tua atau bahkan kepada gurunya. Orang yang tawadhu� biasanya tidak mau berebut tempat, posisi, atau menjadi pemimpin, dan tidak terkecuali memimpin kegiatan shalat berjama�ah, berdzikir atau sejenisnya, sepanjang masih ada orang lain yang dianggap lebih tepat dari dirinya.
Manakala dalam suatu waktu terdapat beberapa orang yang konsisten berpegang pada ketawadhu�an itu, sekedar akan melaksanakan shalat berjama�ah saja menjadi tidak mudah menunjuk siapa yang paling tepat bertindak sebagai imamnya. Pasti di antara mereka akan berebut menghindar dan sebaliknya akan saling mendorong yang lain. Bagi orang yang memelihara ketawahu�an, maka orang lain dipandang lebih pantas, lebih berhak, dan atau lebih utama dibanding dirinya sendiri.
Dalam sebuah pertemuan beberapa waktu yang lalu di Pacet, Mojokerto, yang dihadiri oleh banyak kyai, ketika akan melaksanakan shalat berjama�ah, hampir-hampir batal oleh karena tidak ada yang bersedia menjadi imamnya. Adalah merupakan pemandangan yang aneh, terlalu banyak kyai justru shalat jama�ah hampir batal. Hal demikian itu terjadi oleh karena adanya sikap tawadhu� itu. Semua merendah dan semua saling mendorong yang lain agar menjadi imam, dan sebaliknya, mereka berebut menjadi makmum saja. Akhirnya, shalat baru dimulai setelah beberapa orang kyai, memaksa satu di antara mereka, dengan cara mendorong bersama-sama ke posisi tempat imam. Baru kemudian, shalat berjama�ah dapat dimulai.
Gambaran tersebut tidak saja terjadi di dalam pertemuan para kyai di Pacet tersebut, tetapi juga di banyak tempat ketika para kyai berkumpul. Bahkan ada kisah lucu, dalam sebuah pertemuan banyak kyai, ketika akan melaksanakan shalat berjama�ah, ����sebagaimana biasa, para kyai saling mendorong dan tidak ada yang bersedia. Di tengah suasana saling dorong mendorong untuk menjadi imam tersebut, ternyata ada seseorang yang dengan enaknya mengambil tempat imam, dan mengimami shalat jama�ah itu. Para kyai yang berebut menghindar sebagai imam, tentu berhenti dan mengikuti shalat yang diimami oleh orang yang tidak jelas kompetensinya dimaksud.
Baru setelah selesai shalat dilaksanakan, di antara beberapa orang yang mengenal betul, siapa sebenarnya imam shalat tersebut, merasa kecewa. Kekecawaan itu terjadi oleh karena mengetahui bahwa, orang yang bertindak sebagai imam dimaksud selama ini dikenal mentalnya tidak sehat atau stress. Sudah biasa terjadi di banyak masjid, ada saja orang yang kurang sehat akalnya, berada di tempat ibadah dan selalu ikut shalat. Dalam kasus tersebut, setelah selesai shalat, orang stress yang nekat bertindak sebagai imam mengaku, bahwa daripada menunggu lama tidak ada yang bersedia menjadi imam, maka dia mengambil tempat atau peran itu. Mengetahui kenyataan itu, mereka hanya menyesal, yaitu telah bermakmum pada orang yang kurang sehat akalnya.
Kejadian tersebut sederhana, tetapi menjadi pelajaran penting dalam kehidupan yang lebih luas. Jika semua orang yang dikenal baik selalu berpegang pada ketawadhu�an, maka bisa jadi dalam kehidupan politik misalnya, orang yang tidak kompeten bisa menduduki posisi strategis, menjadi kepala desa, kepala daerah, dan atau jabatan strategis lainnya Oleh karena orang yang dipandang baik semuanya mengembangkan sikap tawadhu�, dan tidak mau mencalonkan diri sebagai pemimpin, maka posisi itu direbut oleh orang-orang yang sekedar mau dan berani, tetapi tidak berbekal persyaratan yang sebenarnya dibutuhkan.
Pada akhir-akhir ini dalam politik, di berbagai tempat, muncul orang-orang yang dipandang kurang tepat menduduki posisi penting dalam kekuasaan. Hal itu persis sebagaimana dalam peristiwa shalat berjama�ah yang dikisahkan di muka. Oleh karena para kyai yang berkompeten saling berusaha menghindar menjadi imam, maka kesempatan tersebut diambil oleh orang yang bukan semestinya, bahkan oleh orang yang kurang sehat akalnya atau sedang stress. Sikap tawadhu� memang mulia dan penting dikembang, akan tetapi pada kasus tertentu, dalam politik misalnya, ternyata berakibat merugikan orang banyak, dan bahkan dalam shalat berjama�ah saja, juga begitu. Wallahu a�lam
Tawadhu� dimaknai sebagai sikap merendahkan diri, dan sebaliknya menghormat dan atau mengutamakan dan memuliakan orang lain. Sebagai gambaran sederhana, seorang disebut tawadhu�, manakala selalu merendah di hadapan orang lain, dan apalagi terhadap orang yang lebih tua atau bahkan kepada gurunya. Orang yang tawadhu� biasanya tidak mau berebut tempat, posisi, atau menjadi pemimpin, dan tidak terkecuali memimpin kegiatan shalat berjama�ah, berdzikir atau sejenisnya, sepanjang masih ada orang lain yang dianggap lebih tepat dari dirinya.
Manakala dalam suatu waktu terdapat beberapa orang yang konsisten berpegang pada ketawadhu�an itu, sekedar akan melaksanakan shalat berjama�ah saja menjadi tidak mudah menunjuk siapa yang paling tepat bertindak sebagai imamnya. Pasti di antara mereka akan berebut menghindar dan sebaliknya akan saling mendorong yang lain. Bagi orang yang memelihara ketawahu�an, maka orang lain dipandang lebih pantas, lebih berhak, dan atau lebih utama dibanding dirinya sendiri.
Dalam sebuah pertemuan beberapa waktu yang lalu di Pacet, Mojokerto, yang dihadiri oleh banyak kyai, ketika akan melaksanakan shalat berjama�ah, hampir-hampir batal oleh karena tidak ada yang bersedia menjadi imamnya. Adalah merupakan pemandangan yang aneh, terlalu banyak kyai justru shalat jama�ah hampir batal. Hal demikian itu terjadi oleh karena adanya sikap tawadhu� itu. Semua merendah dan semua saling mendorong yang lain agar menjadi imam, dan sebaliknya, mereka berebut menjadi makmum saja. Akhirnya, shalat baru dimulai setelah beberapa orang kyai, memaksa satu di antara mereka, dengan cara mendorong bersama-sama ke posisi tempat imam. Baru kemudian, shalat berjama�ah dapat dimulai.
Gambaran tersebut tidak saja terjadi di dalam pertemuan para kyai di Pacet tersebut, tetapi juga di banyak tempat ketika para kyai berkumpul. Bahkan ada kisah lucu, dalam sebuah pertemuan banyak kyai, ketika akan melaksanakan shalat berjama�ah, ����sebagaimana biasa, para kyai saling mendorong dan tidak ada yang bersedia. Di tengah suasana saling dorong mendorong untuk menjadi imam tersebut, ternyata ada seseorang yang dengan enaknya mengambil tempat imam, dan mengimami shalat jama�ah itu. Para kyai yang berebut menghindar sebagai imam, tentu berhenti dan mengikuti shalat yang diimami oleh orang yang tidak jelas kompetensinya dimaksud.
Baru setelah selesai shalat dilaksanakan, di antara beberapa orang yang mengenal betul, siapa sebenarnya imam shalat tersebut, merasa kecewa. Kekecawaan itu terjadi oleh karena mengetahui bahwa, orang yang bertindak sebagai imam dimaksud selama ini dikenal mentalnya tidak sehat atau stress. Sudah biasa terjadi di banyak masjid, ada saja orang yang kurang sehat akalnya, berada di tempat ibadah dan selalu ikut shalat. Dalam kasus tersebut, setelah selesai shalat, orang stress yang nekat bertindak sebagai imam mengaku, bahwa daripada menunggu lama tidak ada yang bersedia menjadi imam, maka dia mengambil tempat atau peran itu. Mengetahui kenyataan itu, mereka hanya menyesal, yaitu telah bermakmum pada orang yang kurang sehat akalnya.
Kejadian tersebut sederhana, tetapi menjadi pelajaran penting dalam kehidupan yang lebih luas. Jika semua orang yang dikenal baik selalu berpegang pada ketawadhu�an, maka bisa jadi dalam kehidupan politik misalnya, orang yang tidak kompeten bisa menduduki posisi strategis, menjadi kepala desa, kepala daerah, dan atau jabatan strategis lainnya Oleh karena orang yang dipandang baik semuanya mengembangkan sikap tawadhu�, dan tidak mau mencalonkan diri sebagai pemimpin, maka posisi itu direbut oleh orang-orang yang sekedar mau dan berani, tetapi tidak berbekal persyaratan yang sebenarnya dibutuhkan.
Pada akhir-akhir ini dalam politik, di berbagai tempat, muncul orang-orang yang dipandang kurang tepat menduduki posisi penting dalam kekuasaan. Hal itu persis sebagaimana dalam peristiwa shalat berjama�ah yang dikisahkan di muka. Oleh karena para kyai yang berkompeten saling berusaha menghindar menjadi imam, maka kesempatan tersebut diambil oleh orang yang bukan semestinya, bahkan oleh orang yang kurang sehat akalnya atau sedang stress. Sikap tawadhu� memang mulia dan penting dikembang, akan tetapi pada kasus tertentu, dalam politik misalnya, ternyata berakibat merugikan orang banyak, dan bahkan dalam shalat berjama�ah saja, juga begitu. Wallahu a�lam
Sumber ; Imamsuprayogo.com