Banyak orang berbicara tentang manusia berkualitas unggul. Pembicaraan
itu biasanya dikaitkan dengan pendidikan dan sumber daya manusia.
Pendidikan diharapkan mampu melahirkan manusia yang disebut berkualitas
unggul itu. Sedangkan sumber daya manusia dikaiktkan dengan kualiktas
produk yang dihasilkan oleh manusia. Lagi-lagi, produk apa saja yang
dipandang unggul selalu berasal dari orang yang berkualitas unggul pula.
Sekalipun perbincangan tentang manusia unggul sudah sedemikian meluas dan populer, akan tetapi ukuran unggul sendiri belum terlalu dipahami secara mendalam dan menyeluruh. Ukuran keunggulan kadang hanya menyentuh aspek sederhana. Seseorang dipandang hebat dan atau unggul sebatas ketika berhasil menjawab soal-soal ujian. Sementara itu pertanyaan yang diajukan di dalam ujian juga tidak selalu mencakup berbagai hal yang bisa digunakan untuk mengetahui kemampuan seseorang secara tepat.
Adanya bimbingan tes, kesibukan mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian, dan lain-lain, sebenarnya menggambarkan bahwa berbagai jenis hasil ujian dimaksud sebenarnya belum menggambarkan kualitas seseorang yang sebenarnya. Seseorang berhasil lulus oleh karena telah mengikuti bimbingan tes, atau karena telah lama mempersiapkan ujian itu. Padahal, kualitas seseorang seharusnya bersifat konstan. Seseorang yang berkualitas, kapan saja dan di mana saja, mampu menyelesaikan soal-soal ujian atau persoalan yang seharusnya dipecahkan.
Selain itu sebutan manusia unggul seharusnya bersifat utuh dan menyeluruh, meliputi berbagai aspek, baik, menyangkut keluasan pengetahuannya, ketrampilannya, dan yang justru tidak kurang pentingnya adalah menyangkut kehidupan spiritual dan akhlak atau karakternya. Melihat kualitas seseorang hanya dari aspek keluasan pengetahuan dan ketrampilannya, sebenarnya tidak cukup. Banyak orang yang memiliki kelebihan kedua hal tersebut, namun tanpa diikuti oleh kekuatan lainnya, yakni spiritual dan akhlak atau karakter, ternyata justru beresiko. Orang pintar tetapi tiak berakhlak, maka kepintarannya digunakan untuk memuaskan nafsunya, sehingga yang terjadi adalah membuat kerusakan, baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain.
Merumuskan manusia unggul sebenarnya tidak mudah, oleh karena itu cara terbaik adalah mengikuti rumusan dari petunjuk wahyu. Bagi umat Islam manusia unggul dan ideal itu mengikuti petunjuk al Qur�an. Wahyu yang disampaikan oleh Allah melalui Nabi Muhammad adalah sudah sempurna. Siapapun yang mengikuti petunjuk wahyu, akan menjadi selamat, dan akan menjadi manusia terbaik. Keselamatan dimaksud dalam prespektif yang utuh, yaitu selamat, baik di dunia maupun di akherat. Disebut sebagai terbaik oleh karena keunggulan yang dimaksudkan meliputi semua aspek yang ada pada diri manusia, yaitu aspek spiritualitasnya, akhlaknya, ilmu, dan profesionalitasnya. Selain itu, sebagai manusia unggul, tentu harus sehat, baik jasmani maupun ruhaninya.
Untuk membangun manusia unggul, wahyu yang sudah dalam bentuk kitab suci, yakni al Qur�an, memberikan petunjuk secara komprehensif, berupa konsep bagaimana membangun dan merawat ruh atau dunia batin manusia. Apa yang disebut sebagai ruh itu justru menjadi kekuatan penggerak dan penentu bagi seluruh perilaku manusia. Berangkat dari ruh itu maka telinga manusia bisa mendengar, mata bisa melihat, otak manusia bisa berpikir, hati manusia bisa merasakan sesuatu, dan seterusnya. Kekuatan itulah yang seharusnya menjadi sasaran pendidikan. Namun mendidik ruh tentu tidak sekedar melalui sejumlah mata pelajaran yang dapat diprogram seperti di lembaga pendidikan formal. Bahkan, mendidik ruh tidak bisa dilakukan oleh sesama manusia.
Selain itu, dari wahyu juga diperoleh cara menjadikan seseorang semakin cerdas, pintar, dan mampu mencipta berbagai hal untuk memenuhi kebutuhan hidup. Manusia diajak berpikir, dengan cara banyak melihat, mendengar, dan merasakannya sendiri. Pengetahuan yang sebenarnya akan diperoleh dari usaha mencari sendiri dan bukan sekedar memperoleh atau meniru dari apa saja yang dihasilkan oleh orang lain. Melalui ayat al Qur�an yang pertama kali turun, manusia diperintah untuk membaca dan diperkenalkan dengan apa yang disebut mencipta. Rupanya, kedua hal tersebut, yakni membaca dan mencipta, adalah sebagai pintu dan bahkan kunci keberhasilan hidup bagi siapa saja di dunia ini.
Dengan demikian, konsep tentang bagaimana mendidik atau menjadikan manusia unggul telah tersedia di dalam wahyu yang terhimpun di dalam kitab suci. Namun seringkali, ketika menyebut bahwa kehidupan yang paling sukses adalah apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw 14 abad yang lalu, selalu dikritisi bahwa utusan Allah itu berhasil membangun manusia unggul oleh karena mendapatkan wahyu. Sementara manusia biasa tidak mendapatkannya. Padahal jika direnungkan secara mendalam, manusia biasa sekarang ini pun juga dapat membangun manusia unggul mendasarkan pada wahyu. Bahkan wahyu dimaksud sudah dalam keadaan sempurna, yaitu berupa kitab suci, sedangkan kita sekarang tinggal membaca, memahami, dan menjalankannya. Wallahu a�lam
Sekalipun perbincangan tentang manusia unggul sudah sedemikian meluas dan populer, akan tetapi ukuran unggul sendiri belum terlalu dipahami secara mendalam dan menyeluruh. Ukuran keunggulan kadang hanya menyentuh aspek sederhana. Seseorang dipandang hebat dan atau unggul sebatas ketika berhasil menjawab soal-soal ujian. Sementara itu pertanyaan yang diajukan di dalam ujian juga tidak selalu mencakup berbagai hal yang bisa digunakan untuk mengetahui kemampuan seseorang secara tepat.
Adanya bimbingan tes, kesibukan mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian, dan lain-lain, sebenarnya menggambarkan bahwa berbagai jenis hasil ujian dimaksud sebenarnya belum menggambarkan kualitas seseorang yang sebenarnya. Seseorang berhasil lulus oleh karena telah mengikuti bimbingan tes, atau karena telah lama mempersiapkan ujian itu. Padahal, kualitas seseorang seharusnya bersifat konstan. Seseorang yang berkualitas, kapan saja dan di mana saja, mampu menyelesaikan soal-soal ujian atau persoalan yang seharusnya dipecahkan.
Selain itu sebutan manusia unggul seharusnya bersifat utuh dan menyeluruh, meliputi berbagai aspek, baik, menyangkut keluasan pengetahuannya, ketrampilannya, dan yang justru tidak kurang pentingnya adalah menyangkut kehidupan spiritual dan akhlak atau karakternya. Melihat kualitas seseorang hanya dari aspek keluasan pengetahuan dan ketrampilannya, sebenarnya tidak cukup. Banyak orang yang memiliki kelebihan kedua hal tersebut, namun tanpa diikuti oleh kekuatan lainnya, yakni spiritual dan akhlak atau karakter, ternyata justru beresiko. Orang pintar tetapi tiak berakhlak, maka kepintarannya digunakan untuk memuaskan nafsunya, sehingga yang terjadi adalah membuat kerusakan, baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain.
Merumuskan manusia unggul sebenarnya tidak mudah, oleh karena itu cara terbaik adalah mengikuti rumusan dari petunjuk wahyu. Bagi umat Islam manusia unggul dan ideal itu mengikuti petunjuk al Qur�an. Wahyu yang disampaikan oleh Allah melalui Nabi Muhammad adalah sudah sempurna. Siapapun yang mengikuti petunjuk wahyu, akan menjadi selamat, dan akan menjadi manusia terbaik. Keselamatan dimaksud dalam prespektif yang utuh, yaitu selamat, baik di dunia maupun di akherat. Disebut sebagai terbaik oleh karena keunggulan yang dimaksudkan meliputi semua aspek yang ada pada diri manusia, yaitu aspek spiritualitasnya, akhlaknya, ilmu, dan profesionalitasnya. Selain itu, sebagai manusia unggul, tentu harus sehat, baik jasmani maupun ruhaninya.
Untuk membangun manusia unggul, wahyu yang sudah dalam bentuk kitab suci, yakni al Qur�an, memberikan petunjuk secara komprehensif, berupa konsep bagaimana membangun dan merawat ruh atau dunia batin manusia. Apa yang disebut sebagai ruh itu justru menjadi kekuatan penggerak dan penentu bagi seluruh perilaku manusia. Berangkat dari ruh itu maka telinga manusia bisa mendengar, mata bisa melihat, otak manusia bisa berpikir, hati manusia bisa merasakan sesuatu, dan seterusnya. Kekuatan itulah yang seharusnya menjadi sasaran pendidikan. Namun mendidik ruh tentu tidak sekedar melalui sejumlah mata pelajaran yang dapat diprogram seperti di lembaga pendidikan formal. Bahkan, mendidik ruh tidak bisa dilakukan oleh sesama manusia.
Selain itu, dari wahyu juga diperoleh cara menjadikan seseorang semakin cerdas, pintar, dan mampu mencipta berbagai hal untuk memenuhi kebutuhan hidup. Manusia diajak berpikir, dengan cara banyak melihat, mendengar, dan merasakannya sendiri. Pengetahuan yang sebenarnya akan diperoleh dari usaha mencari sendiri dan bukan sekedar memperoleh atau meniru dari apa saja yang dihasilkan oleh orang lain. Melalui ayat al Qur�an yang pertama kali turun, manusia diperintah untuk membaca dan diperkenalkan dengan apa yang disebut mencipta. Rupanya, kedua hal tersebut, yakni membaca dan mencipta, adalah sebagai pintu dan bahkan kunci keberhasilan hidup bagi siapa saja di dunia ini.
Dengan demikian, konsep tentang bagaimana mendidik atau menjadikan manusia unggul telah tersedia di dalam wahyu yang terhimpun di dalam kitab suci. Namun seringkali, ketika menyebut bahwa kehidupan yang paling sukses adalah apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw 14 abad yang lalu, selalu dikritisi bahwa utusan Allah itu berhasil membangun manusia unggul oleh karena mendapatkan wahyu. Sementara manusia biasa tidak mendapatkannya. Padahal jika direnungkan secara mendalam, manusia biasa sekarang ini pun juga dapat membangun manusia unggul mendasarkan pada wahyu. Bahkan wahyu dimaksud sudah dalam keadaan sempurna, yaitu berupa kitab suci, sedangkan kita sekarang tinggal membaca, memahami, dan menjalankannya. Wallahu a�lam
Sumber : Imamsuprayogo.com