Sebagaimana biasa, setiap menjelang tanggal 17 Agsutus pada setiap tahun, bangsa Indonesia disibukkan oleh peringatan hari kemerdekaan. Berbagai kegiatan yang bersifatnya menghibur dan menyenangkan diselenggarakan sebagai ekpresi kegembiraan memperingatai hari yang amat bersejarah itu. Semua warga negara tanpa terkecuali menyambut datangnya hari ulang tahun kemerdekaan itu dengan gembira. Pada saat seperti itu, bangsa Indonesia merasa keluar dari penindasan penjajah yang telah dialami hingga ratusan tahun.
Sudah barang tentu, semua orang menyenangi suasana merdeka. Sebaliknya, apapun yang dirasakan membelenggu dan serba membatasi, akan dirasakan oleh siapa saja sebagai sesuatu yang menyiksa. Pada saat bangsa ini dijajah oleh Belanda dalam waktu yang cukup lama, dan kemudian disusul oleh Jepang, maka baik secara fisik maupun batin, dirasakan membatasi, mengekakng, dan tidak menyenangkan. Sebagai pihak yang dijajah hidup serba tidak bebas, serba diatur, dan dikekang. Sebagai bangsa yang dijajah, maka tidak semua peluang untuk meraih cita-cita dan keinginan memenuhi kebutuhannya dapat dipenuhi.
Secara fisik bangsa yang dijajah, hidupnya dikuasai oleh pihak penjajah. Mereka disuruh dan diatur dengan cara apapun harus mengikut. Sebagai rakyat yang terjajah maka tidak dibolehkan memperoleh pendidikan secara leluasa, berperilaku, dan demikian pula mendapatkan jabatan atau lapangan pekerjaan. Penduduk pribuni hanya dibolehkan memasuki pendidikan pada jenis dan jenjang tertentu dan demikian pula terhadap jabatan di pemerintahan.
Berbagai jenis sumber ekonomi dikuasai dan bukan untuk kepentingan rakyat yang dijajah. Sebaliknya, hasil-hasil ekonomi itu dikuasai dan dibawa untuk kemakmuran bangsa yang menjajahnya. Itulah sebabnya, bangsa yang dijajah menjadi miskin dan menderita. Padahal, keluar dari suasana yang tidak menyenangkan itu tidak mudah, oleh karena tidak memiliki kekuatan untuk menghindari. Selain tidak berdaya, rakyat yang dijajah tidak memiliki kemampuan untuk mengorganisasi, berkoordinasi, membuat strategi, dan bekal untuk melawan. Siapapun yang sedang dijajah dipaksa menjalani hidup dengan pasrah, menerima keadaan apa adanya.
Namun pada tanggal 17 Agustus 1945, atas pejuangan dan pengorbanan yang luar biasa besarnya, bangsa Indonesaia mampu merebut kemerdekaan. Hanya persoalannya adalah apa sebenarnya substansi dari kemerdekaan itu. Siapa sebenarnya yang berhak dan harus merasakan anugerah kemerdekaan itu. Jika selama ini ada sementara pihak yang mengetahui dan bahkan merasakan bahwa kemerdekaan itu belum sampai dan dinikmati oleh semua orang, maka apa sebenarnya yang menjadi sebabnya. Siapa sebenarnya yang seharusnya bertanggung jawab agar kemerdekaan itu dapat dirasakan oleh semua dan apa sebenarnya yang menjadi penghalang hingga kemerdekaan masih harus diperjuangkan secara lebih serius lagi. Apa dan siapa sebenarnya yang menjadikan substansi kemerdekaan itu hingga belum dirasakan secara merata.
Menjawab pertanyaan tersebut tentu memerlukan uraian panjang, waktu yang lama, dan energi untuk berpikir yang tidak sederhana. Ketika tidak mungkin menjawab secara keseluruhan dari berbagai pertanyaan mendasar tersebut, maka kiranya perlu menjawab sebagian kecil, tetapi menjadi sumber dari semua persoalan dimaksud, yaitu apa sebenarnya substansi kemerdekaan itu. Siapa sebenarnya yang harus merdeka dan bagaimana memerdekaannya.
Manusia terdiri atas dua unsur, yaitu jasmani dan ruhani. Keduanya menyatu hingga disebut sebagai manusia. Kedua unsur tersebut sama-sama pentingnya, tetapi yang menjadi sumber kekuatan dan bahkan yang merasakan kemerdekaan itu adalah pada aspek ruhaninya. Seseorang yang secara fisik terbelenggu, tetapi bisa jadi ruhaninya merasa bebas. Secara fisik seseorang terbelenggu oleh keterbatasan harta kekayaan, kekuasaan, kewenangan, kesempatan, dan lain-lain, tetapi bisa jadi ruhaninya tidak merasakannya. Kemiskinannya tidak mengurangi rasa syukurnya. Orang yang memiliki rasa syukur, maka kekurangan itu tidak pernah dirasakan.
Sebaliknya, ada saja orang yang tidak berkekurangan apa-apa, misalnya harta kekayaannya melimpah, jabatan dan kekuasaan ada pada dirinya, kesempatan, dan lain-lain, tetapi, oleh karena hatinya justru terbelenggu oleh semua yang dimilikinya itu, maka hidupnya merasa terkekang, terbelanggu, dan serba dibatasi. Misalnya, hanya sekedar tidur saja, orang yang memiliki kelebihan itu tidak nyenyak oleh karena khawatir hartanya berkurang, jabatannya akan segera ditinggalkan, dan seterusnya. Orang sebagaimana digambarkan itu, sebenarnya belum merasakan kemerdekaan. Secara fisik tampak merdeka, tetapi secara ruhani justru terjajah oleh apa saja yang ada pada dirinya.
Kemerdekaan seharusnya dirasakan, baik oleh jasmani dan sekaligus ruhaninya. Jasmaninya merdeka oleh karena bisa melakukan apa saja. Sebagai contoh kecil, mengkonsumsi apa saja tidak ada larangan, baik terkait dengan kesehatan dirinya atau lainnya. Berpakaian apa saja tidak ada yang membatasi dan bisa merasakan pantas. Berada di mana saja tidak ada yang menganggap tidak tepat. Itulah orang yang secara fisik, benar-benar merdeka. Demikian pula, menyangkut kemerdekaan hati, jiwa atau perasaan. Orang yang hatinya merdeka maka terbebas dari rasa khawatir, galau, takut, ragu, dan lain-lain. Jika perasaan yang demikian itu masih ada pada diri seseorang, sekalipun semua fasilitas hidup tercukupi, maka sebenarnya kemerdekaan dimaksud masih belum dimiliki dan dirasakan. Kemerdekaan yang sebenarnya tidak mudah dicari, namun pada hakekatnya selalu ada pada diri orang-orang yang mampu bersyukur dan bertawakkal. Wallahu a�lam
Sumber : Imamsuprayogo.com