Setelah menjalankan ibadah puasa di Bulan
Ramadhan sebulan penuh dan menyempurnakannya dengan kegiatan ibadah
lainnya, seperti shalat malam, membaca al Qur�an, membayar zakat, dan
lain-lain, maka seseorang berharap memperoleh kemenangan. Disebutnya
sebagai kemeanngan, oleh karena ibadah puasa diserupakan dengan kegiatan
perang. Sebagaimana perang pada umumnya, maka siapa saja yang terlibat
akan keluar dalam keadaan antara menang dan atau kalah. Siapapun
berharap mendapatkan kemenangan, dan akhirnya merasakan kebahagiaan.
Perang yang dijalani di Bulan Ramadhan dimaksud bukan melawan musuh yang ada di luar dirinya, melainkan justru berada di dalam dirinya sendiri. Terasa aneh, musuh ternyata dapat menyatu pada diri seseorang., Akan tetapi itulah kenyataannya. Siapapun dalam menjalani kehidupan ini ternyata selalu berhadapan dengan musuh. Musuh itu ada yang berada di luar dirinya, tetapi juga ada yang berasal dari dalam dirinya sendiri. Bahkan, Nabi pernah mengingatkan, musuh yang berasal dari dalam dirinya sendiri itulah justru yang jauh lebih berbahaya dan dahsyat sehingga lebih sulit dikalahkan.
Musuh yang berasal dari luar biasanya dapat dikenali dengan mudah. Selain itu juga bisa dikalkulasi kekuatannya, kapan datangnya, jumlahnya, dan bahkan taktik dan strateginya bisa dipelajari. Oleh karena itu, kedatangannya bisa diantisipasi dan disusun kekuatan dan strategi untuk menghadapinya. Berbeda dengan musuh yang berasal dari luar, adalah musuh yang berasal dari dalam diri sendiri, yang disebut dengan hawa nafsu, dunia, dan setan. Menghadapinya tidak mungkin dibuat strategi, disusun kekuatan, dan sejenisnya. Musuh dari dalam diri sendiri datangnya bisa sewaktu-waktu, baik tatkala seseorang sedang gembira, sedang susah, atau sedang dalam keadaan sukses, bahkan dapat dikatakan dalam berbagai jenis keadaan sepanjang seseorang menjalani hidupnya..
Kehadiran musuh yang berasal dari dalam diri sendiri tidak selalu disadari oleh yang bersangkutan. Seseorang mengira bahwa dirinya sedang aman, oleh karena apa saja yang diinginkan sudah dapat diraih. Pendidikan sudah berhasil diselesaikan, pangkat sudah diraih, jabatan sudah berada di tangan, kekayaan tidak pernah kurang, pengaruh sedemikian luas, dan seterusnya. Dalam keadaan seperti itu, yang bersangkutan mengira bahwa dirinya sedang berada pada wilayah aman. Apalagi, shalat pun sudah dijalankan dengan baik, zakat sudah ditunaikan, puasa juga telah dijalankan, begitu pula, ibadah umrah maupun haji sudah berhasil dilaksanakan hingga beberapa kali. Dalam keadaan seperti itu dirasakan bahwa, musuh sudah tidak ada pada dirinya.
Secara dhahir, keadaan seperti digambarkan tersebut memang menyenangkan, aman, dan terasa bahwa pada dirinya tidak ada kekurangan. Padahal, justru berperasaan aman itulah sebenarnya seseorang sedang menghadapi musuh yang nyata. Hatinya merasa aman dan puas oleh karena merasa, usahanya telah sukses dan berhasil. Keberhasilannya dipandang olehnya sebagai usahanya sendiri, dan sebaliknya lupa, bahwa semua itu adalah merupakan karunia Tuhan yang seharusnya disyukuri. Mengabaikan peran Tuhan dalam meraih keberhasilan dan apalagi kemudian melupakan kewajiban untuk bersyukur adalah sebuah kekeliruan. Dalam suasana seperti ini, seseorang sedang melakukan kesalahan, tetapi tidak sadar bahwa dirinya berada pada posisi keliru. Itulah sebabnya, musuh yang ada pada diri sendiri itu sedemikian berat dilawan, oleh karena sifatnya yang kadangkala sedemikian halus, samar, dan lembut, sehingga tidak mudah diketahui atau dirasakan.
Pada hari raya idul fitri, orang merasakan kemenangan itu. Kemenangan yang dimaksudkan itu sedemikian tinggi harganya, oleh karena melawan musuh yang sedemikian sulit ditaklukkan. Musuh dari dalam diri sendiri yang berhasil ditaklukkan itu dapat berupa sifat hasut, dengki, permusuhan, bakhil, fitnah, takabuur, bohong, iri hati, kufur nikmat, dan sejenisnya. Semua penyakit yang bersemayam di dalam hati itu, jika tidak berhasil dienyahkan, juga akan sangat berpotensi menjadi pintu pembuka bagi seseorang memasuki neraka. Melalui berpuasa sebulan penuh di Bulan Ramadhan, dan ditambah dengan berbagai kegiatan lain untuk menyempurkannya, maka seseorang berhasil memenangkan peperangan melawan hawa nafsu, dunia, dan setan. Itulah sebenarnya yang disebut sebagai kemenangan sejati, dan sudah barang tentu seharusnya selalu dipelihara, agar tidak saja diraih tatkala sedang merayakan Idul Fitri, tetapi juga dialami hingga kapan saja. Wallahu a�lam
Perang yang dijalani di Bulan Ramadhan dimaksud bukan melawan musuh yang ada di luar dirinya, melainkan justru berada di dalam dirinya sendiri. Terasa aneh, musuh ternyata dapat menyatu pada diri seseorang., Akan tetapi itulah kenyataannya. Siapapun dalam menjalani kehidupan ini ternyata selalu berhadapan dengan musuh. Musuh itu ada yang berada di luar dirinya, tetapi juga ada yang berasal dari dalam dirinya sendiri. Bahkan, Nabi pernah mengingatkan, musuh yang berasal dari dalam dirinya sendiri itulah justru yang jauh lebih berbahaya dan dahsyat sehingga lebih sulit dikalahkan.
Musuh yang berasal dari luar biasanya dapat dikenali dengan mudah. Selain itu juga bisa dikalkulasi kekuatannya, kapan datangnya, jumlahnya, dan bahkan taktik dan strateginya bisa dipelajari. Oleh karena itu, kedatangannya bisa diantisipasi dan disusun kekuatan dan strategi untuk menghadapinya. Berbeda dengan musuh yang berasal dari luar, adalah musuh yang berasal dari dalam diri sendiri, yang disebut dengan hawa nafsu, dunia, dan setan. Menghadapinya tidak mungkin dibuat strategi, disusun kekuatan, dan sejenisnya. Musuh dari dalam diri sendiri datangnya bisa sewaktu-waktu, baik tatkala seseorang sedang gembira, sedang susah, atau sedang dalam keadaan sukses, bahkan dapat dikatakan dalam berbagai jenis keadaan sepanjang seseorang menjalani hidupnya..
Kehadiran musuh yang berasal dari dalam diri sendiri tidak selalu disadari oleh yang bersangkutan. Seseorang mengira bahwa dirinya sedang aman, oleh karena apa saja yang diinginkan sudah dapat diraih. Pendidikan sudah berhasil diselesaikan, pangkat sudah diraih, jabatan sudah berada di tangan, kekayaan tidak pernah kurang, pengaruh sedemikian luas, dan seterusnya. Dalam keadaan seperti itu, yang bersangkutan mengira bahwa dirinya sedang berada pada wilayah aman. Apalagi, shalat pun sudah dijalankan dengan baik, zakat sudah ditunaikan, puasa juga telah dijalankan, begitu pula, ibadah umrah maupun haji sudah berhasil dilaksanakan hingga beberapa kali. Dalam keadaan seperti itu dirasakan bahwa, musuh sudah tidak ada pada dirinya.
Secara dhahir, keadaan seperti digambarkan tersebut memang menyenangkan, aman, dan terasa bahwa pada dirinya tidak ada kekurangan. Padahal, justru berperasaan aman itulah sebenarnya seseorang sedang menghadapi musuh yang nyata. Hatinya merasa aman dan puas oleh karena merasa, usahanya telah sukses dan berhasil. Keberhasilannya dipandang olehnya sebagai usahanya sendiri, dan sebaliknya lupa, bahwa semua itu adalah merupakan karunia Tuhan yang seharusnya disyukuri. Mengabaikan peran Tuhan dalam meraih keberhasilan dan apalagi kemudian melupakan kewajiban untuk bersyukur adalah sebuah kekeliruan. Dalam suasana seperti ini, seseorang sedang melakukan kesalahan, tetapi tidak sadar bahwa dirinya berada pada posisi keliru. Itulah sebabnya, musuh yang ada pada diri sendiri itu sedemikian berat dilawan, oleh karena sifatnya yang kadangkala sedemikian halus, samar, dan lembut, sehingga tidak mudah diketahui atau dirasakan.
Pada hari raya idul fitri, orang merasakan kemenangan itu. Kemenangan yang dimaksudkan itu sedemikian tinggi harganya, oleh karena melawan musuh yang sedemikian sulit ditaklukkan. Musuh dari dalam diri sendiri yang berhasil ditaklukkan itu dapat berupa sifat hasut, dengki, permusuhan, bakhil, fitnah, takabuur, bohong, iri hati, kufur nikmat, dan sejenisnya. Semua penyakit yang bersemayam di dalam hati itu, jika tidak berhasil dienyahkan, juga akan sangat berpotensi menjadi pintu pembuka bagi seseorang memasuki neraka. Melalui berpuasa sebulan penuh di Bulan Ramadhan, dan ditambah dengan berbagai kegiatan lain untuk menyempurkannya, maka seseorang berhasil memenangkan peperangan melawan hawa nafsu, dunia, dan setan. Itulah sebenarnya yang disebut sebagai kemenangan sejati, dan sudah barang tentu seharusnya selalu dipelihara, agar tidak saja diraih tatkala sedang merayakan Idul Fitri, tetapi juga dialami hingga kapan saja. Wallahu a�lam
Sumber : Imamsuprayogo.com