Persoalan umat manusia yang mendasar saat ini adalah terkait dalam
membangun persatuan, lebih-lebih di kalangan umat Islam. Kita
menyaksikan negara-negara Islam seperti Irak, Yaman, Mesir, Libia,
Suriah, dan lain-lain berantakan oleh karena tidak berhasil membangun
persatuan. Krisis yang berakibat serius itu, sementara orang segera
menyalahkan orang lain. Memang betapapun intervensi terhadap negara lain
adalah salah. Akan tetapi umpama negara-negara Islam itu bersatu
dengan kokoh maka pihak luar tidak mudah masuk dan membikin berantakan.
Namun pada kenyataannya membuat persatuan tidak mudah. Pada diri setiap manusia pasti memiliki sifat-sifat dasar buruk yang menjadikan bersatu itu sulit dilaksanakan. Sifat buruk itu misalnya ialah (1) tidak mau diungguli oleh pihak lain. Setiap orang tidak menghendaki ada orang lain yang melebihi atau melampauinya; (2) siapapun tidak mau dikalahkan. Setiap orang selalu ingin menang dan unggul dari orang lain. Oleh karena itu keunggulan dengan berbagai cara selalu dkejar dan diperjuangkan.
Sifat buruk lainnya, yaitu (3) manusia tidak mau berkekurangan atau tidak pernah merasa cukup. Berapapun harta yang telah berhasil yang dimiliki selalu masih dirasakan kurang. Oleh karena itu memiliki kekayaan hingga berjumlah berapapun pasti dirasakan kurang. Itulah sebabnya, orang yang sudah kaya raya justru lebih aktif mencari tambahan dibanding orang yang sebenarnya masih berkekurangan. Pada kenyataannya, orang yang kaya belum tentu bermental kaya, tetapi justru sebaliknya, bermental miskin. Selebihnya, (4) orang juga tidak mau direndahkan.
Sebagai akibat dari sedikitnya empat sifat tersebut menjadikan orang tidak mudah menjalin komunikasi, khawatir direndahkan, didahului, dipandang kurang, dan juga takut direndahkan. Mungkin saja, oleh karena terpaksa, yaitu menyadari keadaannya, mereka harus menerima perlakuan dimaksud. Akan tetapi sebenarnya yang bersangkutan tetap tidak ikhlas menerima perlakuan itu. Hal yang demikian itu, menjadikan persatuan hingga kapan pun tidak mudah diwujudkan.
Kesulitan membangun persatuan tidak saja pada antar individu, tetapi juga antar kelompok, organisasi, dan apalagi pada komunitas yang lebih besar. Bahkan di internal organisasi sendiri tidak mudah dipersatukan. Buktinya, konflik internal organisasi terjadi di mana-mana. Hampir tidak ada komunitasi atau organisasi yang sepi dari konflik. Adanya saling menjatuhkan, pecat memecat, berebut, fitnah memfitnah, dan sejenisnya selalu terdengar ada di mana saja.
Perselisihan dan perpecahan bisa menimpa semua orang, bahkan di komunitas yang bernuansa agama sekalipun, bisa terjadi. Mereka berebut posisi, jabatan, dan atau fasilitas lainnya. Perasaan tidak diikutkan, tidak diajak bicara, ditinggalkan, dilampauai, ternyata semua itu selalu mewarnai berbagai jenis komunitas atau organisasi. Pesan-pesan kitab suci, agar setiap orang menghargai orang lain, mengakui akunya, tidak boleh merendahkan terhadap siapapun, dan begitu pula sebaliknya, agar dibangun rasa kasih sayang, tolong menolong, saling menghargai antar sesama, dan seterusnya ternyata tidak selalu menjadi bahan perhatian.
Rupanya persatuan tidak cukup dibangun hanya dengan menggunakan akal semata. Bahkan dengan mengedepankan akal, maka yang terjadi adalah justru akal-akalan atau saling mengakali. Sedangkan buahnya lagi-lagi adalah konflik yang tidak berkesudahan. Sebagaimana hasil kerja akal, mka agar kerukunan dapat diwujudkan, orang membuat piagam, memorandum, surat perjanjian, kesepakatan, dan sejenisnya. Akan tetapi betapa banyak orang konflik justru berawal dari perjanjian yang dibuat bersama itu. Oleh karena itu, membangun persatuan tidak cukup hanya dengan mendasarkan dari hasil kerja akal.
Bisa dibuktikan dan juga dirasakan bahwa banyak orang menjadi bersatu adalah manakala ada ikatan yang lebih mendalam, yaitu ikatan di antara hati. Hatilah yang sangat mungkin bisa disatukan, dan bukan sekedar melalui akal. Beberapa orang yang berada di dalam satu rumah, manakala telah terjalin saling kasih sayang, sebagai buah dari saling mengetahui, memahami, saling menghargai, maka kerukunan dan persatuan akan terwujud dan bahkan menjadi kokoh.
Persoalannya adalah bagaimana menyatukan hati dari banyak orang yang berbeda-beda. Dalam ajaran Islam, sebanyak lima kali sehari semalam, orang diwajibkan untuk shalat lima waktu. Ketika menjalankan shalat, diharuskan menghadap kiblat, yaitu pada Baitullah. Sudah barang tentu, seharusnya tidak saja menghadapkan wajahnya pada tempat mulia dan suci itu, melainkan hati orang yang sedang menjalankan ibadah wajib lima kali sehari semalam itu tidak boleh mengingat berbagai hal selain tertuju pada arah kiblat, yaitu Baitullah, dalam shalatnya itu.
Manakala setidaknya lima kali dalam sehari semalam hati seseorang berada di tempat yang mulia itu maka akan tumbuh kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya. Dampaknya, mereka akan mencintai orang lain sebagaimana mencintai dirinya sendiri. Selanjutnya, manakala di antara sesama sudah saling mencintai dan berhasil saling tolong menolong, maka persatuan itu akan terwujud dengan sendirinya. Maka pada akhirnya, mempersatukan umat tidak cukup melalui kerja akal, melainkan akan lebih tepat ditempuh melalui kekuatan hati sebagaimana dikemukakan di muka. Wallahu a�lam
Namun pada kenyataannya membuat persatuan tidak mudah. Pada diri setiap manusia pasti memiliki sifat-sifat dasar buruk yang menjadikan bersatu itu sulit dilaksanakan. Sifat buruk itu misalnya ialah (1) tidak mau diungguli oleh pihak lain. Setiap orang tidak menghendaki ada orang lain yang melebihi atau melampauinya; (2) siapapun tidak mau dikalahkan. Setiap orang selalu ingin menang dan unggul dari orang lain. Oleh karena itu keunggulan dengan berbagai cara selalu dkejar dan diperjuangkan.
Sifat buruk lainnya, yaitu (3) manusia tidak mau berkekurangan atau tidak pernah merasa cukup. Berapapun harta yang telah berhasil yang dimiliki selalu masih dirasakan kurang. Oleh karena itu memiliki kekayaan hingga berjumlah berapapun pasti dirasakan kurang. Itulah sebabnya, orang yang sudah kaya raya justru lebih aktif mencari tambahan dibanding orang yang sebenarnya masih berkekurangan. Pada kenyataannya, orang yang kaya belum tentu bermental kaya, tetapi justru sebaliknya, bermental miskin. Selebihnya, (4) orang juga tidak mau direndahkan.
Sebagai akibat dari sedikitnya empat sifat tersebut menjadikan orang tidak mudah menjalin komunikasi, khawatir direndahkan, didahului, dipandang kurang, dan juga takut direndahkan. Mungkin saja, oleh karena terpaksa, yaitu menyadari keadaannya, mereka harus menerima perlakuan dimaksud. Akan tetapi sebenarnya yang bersangkutan tetap tidak ikhlas menerima perlakuan itu. Hal yang demikian itu, menjadikan persatuan hingga kapan pun tidak mudah diwujudkan.
Kesulitan membangun persatuan tidak saja pada antar individu, tetapi juga antar kelompok, organisasi, dan apalagi pada komunitas yang lebih besar. Bahkan di internal organisasi sendiri tidak mudah dipersatukan. Buktinya, konflik internal organisasi terjadi di mana-mana. Hampir tidak ada komunitasi atau organisasi yang sepi dari konflik. Adanya saling menjatuhkan, pecat memecat, berebut, fitnah memfitnah, dan sejenisnya selalu terdengar ada di mana saja.
Perselisihan dan perpecahan bisa menimpa semua orang, bahkan di komunitas yang bernuansa agama sekalipun, bisa terjadi. Mereka berebut posisi, jabatan, dan atau fasilitas lainnya. Perasaan tidak diikutkan, tidak diajak bicara, ditinggalkan, dilampauai, ternyata semua itu selalu mewarnai berbagai jenis komunitas atau organisasi. Pesan-pesan kitab suci, agar setiap orang menghargai orang lain, mengakui akunya, tidak boleh merendahkan terhadap siapapun, dan begitu pula sebaliknya, agar dibangun rasa kasih sayang, tolong menolong, saling menghargai antar sesama, dan seterusnya ternyata tidak selalu menjadi bahan perhatian.
Rupanya persatuan tidak cukup dibangun hanya dengan menggunakan akal semata. Bahkan dengan mengedepankan akal, maka yang terjadi adalah justru akal-akalan atau saling mengakali. Sedangkan buahnya lagi-lagi adalah konflik yang tidak berkesudahan. Sebagaimana hasil kerja akal, mka agar kerukunan dapat diwujudkan, orang membuat piagam, memorandum, surat perjanjian, kesepakatan, dan sejenisnya. Akan tetapi betapa banyak orang konflik justru berawal dari perjanjian yang dibuat bersama itu. Oleh karena itu, membangun persatuan tidak cukup hanya dengan mendasarkan dari hasil kerja akal.
Bisa dibuktikan dan juga dirasakan bahwa banyak orang menjadi bersatu adalah manakala ada ikatan yang lebih mendalam, yaitu ikatan di antara hati. Hatilah yang sangat mungkin bisa disatukan, dan bukan sekedar melalui akal. Beberapa orang yang berada di dalam satu rumah, manakala telah terjalin saling kasih sayang, sebagai buah dari saling mengetahui, memahami, saling menghargai, maka kerukunan dan persatuan akan terwujud dan bahkan menjadi kokoh.
Persoalannya adalah bagaimana menyatukan hati dari banyak orang yang berbeda-beda. Dalam ajaran Islam, sebanyak lima kali sehari semalam, orang diwajibkan untuk shalat lima waktu. Ketika menjalankan shalat, diharuskan menghadap kiblat, yaitu pada Baitullah. Sudah barang tentu, seharusnya tidak saja menghadapkan wajahnya pada tempat mulia dan suci itu, melainkan hati orang yang sedang menjalankan ibadah wajib lima kali sehari semalam itu tidak boleh mengingat berbagai hal selain tertuju pada arah kiblat, yaitu Baitullah, dalam shalatnya itu.
Manakala setidaknya lima kali dalam sehari semalam hati seseorang berada di tempat yang mulia itu maka akan tumbuh kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya. Dampaknya, mereka akan mencintai orang lain sebagaimana mencintai dirinya sendiri. Selanjutnya, manakala di antara sesama sudah saling mencintai dan berhasil saling tolong menolong, maka persatuan itu akan terwujud dengan sendirinya. Maka pada akhirnya, mempersatukan umat tidak cukup melalui kerja akal, melainkan akan lebih tepat ditempuh melalui kekuatan hati sebagaimana dikemukakan di muka. Wallahu a�lam
sumber : Imamsuprayogo.com