Akhir-akhir ini lembaga pendidikan Islam di berbagai daerah atau wilayah
sudah menunjukkan adanya kemajuan. Lembaga pendidikan dimaksud ada yang
dikelola oleh organisasi sosial keagamaan atau juga yayasan yang
menggunakan identitas Islam. Lembaga pendidikan dimaksud berdiri memang
memiliki misi untuk menanamkan nilai-nilai Islam kepada para peserta
didiknya.
Namun di tengah-tengah semakin meningkatnya kualitas lembaga pendidikan Islam dimaksud ternyata juga dibarengi oleh munculnya berbagai jenis konflik yang sebenarnya sangat mengganggu keberadaan institusi pendidikan itu. Konflik, baik terbuka atau tersembunyi, terjadi di kalangan yayasan pembina, pimpinan lembaga pendidikan, atau juga lainnya.
Konflik dimaksud ada yang berhasil diselesaikan dengan segera atau juga sebaliknya, menjadi berkepanjangan hingga mengancam keberadaan lembaga pendidikan dimaksud. Awalnya, lembaga pendidikan Islam berdiri didorong oleh semangat dan orientasi yang amat mulia. Mereka bersama-sama bersedia berkorban, baik berupa tenaga, harta, dan pikiran, atau lainnya, agar lembaga yang dirintis menjadi berkembang dan maju.
Akan tetapi setelah apa yang diperjuangkan itu berhasil, maka segera muncul kesalah-pahaman, sakwasangka, atau sebagian ingin mendominasi dari yang lain. Jika diamati secara saksama, sebab konflik itu tidak terlalu jauh dari persoalan sederhana, yaitu jabatan atau uang. Terasa aneh, pada awalnya mereka berkumpul, menyamakan pandangan, dan bersama-sama menggalang kekuatan, tetapi setelah usaha itu terwujud, berubah menjadi saling tidak percaya, membuat kelompok, curiga mencurigai, dan akhirnya konflik itu.
Hal mendasar yang seharusnya menjadi pertanyaan adalah mengapa di lembaga pendidikan Islam ternyata juga masih terjadi sakwasangka, curiga mencurigai, tidak saling percaya, menuduh, dan apalagi berkembang hingga menjadi saling menjatuhkan, menyingkirkan, dan konflik yang sulit diselesaikan. Maka yang perlu dipertanyakan adalah, apa sebenarnya yang dicari atau ingin diperoleh dari keberadaan lembaga pendidikan Islam itu.
Lembaga pendidikan Islam seharusnya mengajarkan dan mengimplementasikan al Qur�an dan hadits nabi. Sementara itu sumber ajaran Islam tersebut mengajarkan agar di antara sesama saling bersatu, saling kasih mengasihi, pemaaf, menjauhkan dari berbuat bohong, permusuhan, dan tidak boleh saling memfitnah yang menyebabkan putusnya tali silaturrahmi di antara sesama. Manakala di lembaga pendidikan Islam saja terjadi kasus-kasus yang demikian itu, maka apa sebenarnya yang diperjuangkan melalui lembaga pendidikan itu.
Anehnya, mereka yang terlibat konflik atau bertikai di dalam lembaga pendidikan Islam bukan saja orang yang tidak berpendidikan, melainkan juga sebaliknya. Konflik ternyata dilakukan oleh siapapun tanpa mengenal umur dan latar belakang pendidikan. Tidak berarti bahwa orang yang berpendidikan puncak, lulus S3 misalnya, tidak akan terlibat konflik. Di mana-mana, banyak terjadi konflik di lembaga pendidikan Islam ternyata juga melibatkan tokoh berpendidikan tinggi.
Belajar dari kenyataan itu, maka bisa ditangkap pengertian bahwa orang yang berpendidikan tinggi sekalipun tidak menjamin yang bersangkutan mampu menghindarkan diri dari godaan hawa nafsu dan bisikan iblis. Selain itu pendidikan ternyata tidak terlalu terkait dengan akhlak mulia. Walaupun orang berharap agar lembaga pendidikan berkorelasi dengan akhlak, ternyata pada kenyataannya tidak selalu demikian. Antara akhlak mulia dan tingkat atau jenjang pendidikan tidak selalu berkorelasi. Buktinya, di lembaga pendidikan Islam sendiri, konflik dan atau permusuhan di antara sesama, sebagai pertanda rendahnya akhlak, juga masih terjadi.
Jika hal tersebut yang terjadi maka dengan jelas dapat diketahui bahwa pendidikan dan apalagi pendidikan formal sebenarnya tidak selalu mampu mengantarkan seseorang menjadi berakhlak mulia. Akhlak mulia tidak dihasilkan dari lembaga pendidikan, melainkan oleh kegiatan lain, yaitu melalui banyak berdzikir, shalat, puasa, zakat, haji dan sejenisnya. Orang yang menyukai konflik atau permusuhan, sebenarnya adalah orang yang hatinya sedang sakit. Maka obatnya, menurut al Qur�an dan Hadits Nabi, adalah melalui banyak mengingat Allah dan Shalat. Pendidikan formal sebenarnya hanya mempertajam otak, sementara itu berdzikir dan shalat adalah memperhalus dan menyehatkan hati. Oleh karena itu, jika hal terakhir itu diabaikan, maka di lembaga pendidikan Islam sekalipun, akan terjadi konflik dan atau permusuhan yang membahayakan. Wallahu a�lam
Namun di tengah-tengah semakin meningkatnya kualitas lembaga pendidikan Islam dimaksud ternyata juga dibarengi oleh munculnya berbagai jenis konflik yang sebenarnya sangat mengganggu keberadaan institusi pendidikan itu. Konflik, baik terbuka atau tersembunyi, terjadi di kalangan yayasan pembina, pimpinan lembaga pendidikan, atau juga lainnya.
Konflik dimaksud ada yang berhasil diselesaikan dengan segera atau juga sebaliknya, menjadi berkepanjangan hingga mengancam keberadaan lembaga pendidikan dimaksud. Awalnya, lembaga pendidikan Islam berdiri didorong oleh semangat dan orientasi yang amat mulia. Mereka bersama-sama bersedia berkorban, baik berupa tenaga, harta, dan pikiran, atau lainnya, agar lembaga yang dirintis menjadi berkembang dan maju.
Akan tetapi setelah apa yang diperjuangkan itu berhasil, maka segera muncul kesalah-pahaman, sakwasangka, atau sebagian ingin mendominasi dari yang lain. Jika diamati secara saksama, sebab konflik itu tidak terlalu jauh dari persoalan sederhana, yaitu jabatan atau uang. Terasa aneh, pada awalnya mereka berkumpul, menyamakan pandangan, dan bersama-sama menggalang kekuatan, tetapi setelah usaha itu terwujud, berubah menjadi saling tidak percaya, membuat kelompok, curiga mencurigai, dan akhirnya konflik itu.
Hal mendasar yang seharusnya menjadi pertanyaan adalah mengapa di lembaga pendidikan Islam ternyata juga masih terjadi sakwasangka, curiga mencurigai, tidak saling percaya, menuduh, dan apalagi berkembang hingga menjadi saling menjatuhkan, menyingkirkan, dan konflik yang sulit diselesaikan. Maka yang perlu dipertanyakan adalah, apa sebenarnya yang dicari atau ingin diperoleh dari keberadaan lembaga pendidikan Islam itu.
Lembaga pendidikan Islam seharusnya mengajarkan dan mengimplementasikan al Qur�an dan hadits nabi. Sementara itu sumber ajaran Islam tersebut mengajarkan agar di antara sesama saling bersatu, saling kasih mengasihi, pemaaf, menjauhkan dari berbuat bohong, permusuhan, dan tidak boleh saling memfitnah yang menyebabkan putusnya tali silaturrahmi di antara sesama. Manakala di lembaga pendidikan Islam saja terjadi kasus-kasus yang demikian itu, maka apa sebenarnya yang diperjuangkan melalui lembaga pendidikan itu.
Anehnya, mereka yang terlibat konflik atau bertikai di dalam lembaga pendidikan Islam bukan saja orang yang tidak berpendidikan, melainkan juga sebaliknya. Konflik ternyata dilakukan oleh siapapun tanpa mengenal umur dan latar belakang pendidikan. Tidak berarti bahwa orang yang berpendidikan puncak, lulus S3 misalnya, tidak akan terlibat konflik. Di mana-mana, banyak terjadi konflik di lembaga pendidikan Islam ternyata juga melibatkan tokoh berpendidikan tinggi.
Belajar dari kenyataan itu, maka bisa ditangkap pengertian bahwa orang yang berpendidikan tinggi sekalipun tidak menjamin yang bersangkutan mampu menghindarkan diri dari godaan hawa nafsu dan bisikan iblis. Selain itu pendidikan ternyata tidak terlalu terkait dengan akhlak mulia. Walaupun orang berharap agar lembaga pendidikan berkorelasi dengan akhlak, ternyata pada kenyataannya tidak selalu demikian. Antara akhlak mulia dan tingkat atau jenjang pendidikan tidak selalu berkorelasi. Buktinya, di lembaga pendidikan Islam sendiri, konflik dan atau permusuhan di antara sesama, sebagai pertanda rendahnya akhlak, juga masih terjadi.
Jika hal tersebut yang terjadi maka dengan jelas dapat diketahui bahwa pendidikan dan apalagi pendidikan formal sebenarnya tidak selalu mampu mengantarkan seseorang menjadi berakhlak mulia. Akhlak mulia tidak dihasilkan dari lembaga pendidikan, melainkan oleh kegiatan lain, yaitu melalui banyak berdzikir, shalat, puasa, zakat, haji dan sejenisnya. Orang yang menyukai konflik atau permusuhan, sebenarnya adalah orang yang hatinya sedang sakit. Maka obatnya, menurut al Qur�an dan Hadits Nabi, adalah melalui banyak mengingat Allah dan Shalat. Pendidikan formal sebenarnya hanya mempertajam otak, sementara itu berdzikir dan shalat adalah memperhalus dan menyehatkan hati. Oleh karena itu, jika hal terakhir itu diabaikan, maka di lembaga pendidikan Islam sekalipun, akan terjadi konflik dan atau permusuhan yang membahayakan. Wallahu a�lam
sumber : Imamsuprayogo.com