Perbincangan berikut ini sebenarnya sangat sederhana, yaitu trekant dengan urusan antar pribadi, antar kelompok, aliran, atau paham keagamaan yang berbeda. Hanya karena berbeda pandangan, keyakinan, atau pemahaman, masing-masing saling menyalahkan, mengolok, menghujat, dan mengklaim bahwa pandangannya sendiri yang benar. Menyangkut keyakinan atau kepercayaan, sebenarnya adalah urusannya masing-masing. Orang lain tidak perlu memaksa dan ikut campur.
Namun rupanya, sekalipun mengetahui bahwa agama saja tidak boleh dipaksakan, ternyata antar orang yang berkeyakinan berbeda masih terjadi saling menyalahkan, merendahkan, dan bahkan juga menghujat. Hujatan itu bahkan juga dilakukan ketika mereka tidak saling sedang bertemu. Terasa aneh, menghujat orang lain, tetapi mereka yang dihujat belum tentu mendengarnya. Mereka mengira bahwa dengan menghujat itu adalah bagian dari bentuk pembelaan terhadap keyakinan atau agamanya sendiri.
Padahal keyakinan agama sebenarnya tidak perlu dibela dengan cara sebagaimana disebutkan itu. Agama bukan bahan perdebatan atau bahan perbantahan. Agama bukan medan untuk mencari kemenangan dan sebaliknya, mengalahkan orang lain. Agama adalah petunjuk tentang cara menjalani hidup agar seseorang menjadi bahagia, selamat, dan memperoleh kedamaian.
Orang yang sedang menghujat orang lain, dan apalagi orang yang dimaksud tidak hadir dan tidak mendengarkan hujatan itu, maka sebenarnya yang menghujat itulah yang akan merasakan penderitaan sendiri. Sementara itu, mereka yang dihujat oleh karena tidak mengetahuinya, maka tidak akan merasakan apa-apa. Sebaliknya, mereka yang menghujat setidaknya akan capek, dan bahwa yang jelas, hati yang bersangkutan dengan sendirinya akan merasa sakit.
Antar keyakinan dan bahkan antar agama yang berbeda tidak perlu diadu atau dicari siapa yang menang dan siapa pula yang seharusnya menanggung kekalahan. Agama adalah menyangkut persoalan hati, bukan persoalan akal, dan apalagi sebatas menyangkut kekuatan fisik. Memang disebutkan bahwa, agama adalah akal, tetapi maksud kalimat itu bukan agar dengan beragama kemudian melakukan perdebatan hingga saling menjatuhkan. Agama mengajarkan bahwa manakala di antara sesama terlibat pedebatan dan perbantahan, dan ternyata tidak menemukan penyelesaian, maka semua pihak supaya segera kembali kepada Allah dan Rasul-Nya.
Beragama sebagai cara untuk mendapatkan keselamatan, kebahagian, dan kedamaian akan menjadi kontraproduktif manakala adanya perbedaan melahirkan pertikaian, konflik, saling menjatuhkan, dan apalagi perang. Agama hadir bukan untuk saling bermusuhan, tetapi adalah agar umat manusia saling mengenal, memahami, menghargai, saling sayang menyayangi, dan berakhir menjadi saling tolong menolong.
Pada kenyataannya, dalam kehidupan sehari-hari, komunitas beragama yang berlainan keyakinannya, sama-sama saling membuat tembok pemisah. Seolah-olah antar mereka yang berbeda tidak boleh saling berkomunikasi atau berhubungan. Bahkan sebaliknya, seolah-olah dengan alasan perbedaan itu, dibolehkan saling mengolok-olok, menghujat dan menjatuhkan. Padahal bukankah, agama hadir adalah untuk keselamatan, kedamaian dan kebahagiaan itu.
Mengujat dan mencaci maki adalah bukan watak agama. Dalam sejarahnya, para utusan Tuhan yang disebut para Nabi dan Rasul, tidak ada yang menjadi pelopor saling menghujat itu. Semua nabi dan rasul memiliki sifat terpuji, mengajarkan tentang kasih sayang, saling menghargai, dan bertolong menolong. Jika dalam suatu sejarah terdapat nabi terlibat peperangan, maka peperangan itu jika dikaji secara mendalam, adalah dilakukan dalam maksud untuk membela diri. Oleh karena diperangi, maka ia menyelamatkan diri dengan cara berperang itu.
Sesuatu yang perlu dicatat dalam hal berperang adalah bahwa, ternyata perang fisik itu dipandang kecil, sementara itu yang dinilai besar adalah justru perang melawan diri sendiri. Sedangkan yang dimaksud perang melawan diri sendiri adalah perang melawan hawa nafsu. Menghujat, mengolok-olok, merendahkan, menjatuhkan atau mengalahkan pihak lain, adalah bagian dari nafsu yang selalu timbul dari dirinya sendiri. Kekuatan itu disebut nafsu yang seharusnya diperangi oleh yang bersangkutan sendiri. Sebab mengikuti hawa nafsu hanya akan merugikan dan bahkan menyakitkan dirinya sendiri. Wallahu a�lam -
Sumber : Imamsuprayogo.com
Namun rupanya, sekalipun mengetahui bahwa agama saja tidak boleh dipaksakan, ternyata antar orang yang berkeyakinan berbeda masih terjadi saling menyalahkan, merendahkan, dan bahkan juga menghujat. Hujatan itu bahkan juga dilakukan ketika mereka tidak saling sedang bertemu. Terasa aneh, menghujat orang lain, tetapi mereka yang dihujat belum tentu mendengarnya. Mereka mengira bahwa dengan menghujat itu adalah bagian dari bentuk pembelaan terhadap keyakinan atau agamanya sendiri.
Padahal keyakinan agama sebenarnya tidak perlu dibela dengan cara sebagaimana disebutkan itu. Agama bukan bahan perdebatan atau bahan perbantahan. Agama bukan medan untuk mencari kemenangan dan sebaliknya, mengalahkan orang lain. Agama adalah petunjuk tentang cara menjalani hidup agar seseorang menjadi bahagia, selamat, dan memperoleh kedamaian.
Orang yang sedang menghujat orang lain, dan apalagi orang yang dimaksud tidak hadir dan tidak mendengarkan hujatan itu, maka sebenarnya yang menghujat itulah yang akan merasakan penderitaan sendiri. Sementara itu, mereka yang dihujat oleh karena tidak mengetahuinya, maka tidak akan merasakan apa-apa. Sebaliknya, mereka yang menghujat setidaknya akan capek, dan bahwa yang jelas, hati yang bersangkutan dengan sendirinya akan merasa sakit.
Antar keyakinan dan bahkan antar agama yang berbeda tidak perlu diadu atau dicari siapa yang menang dan siapa pula yang seharusnya menanggung kekalahan. Agama adalah menyangkut persoalan hati, bukan persoalan akal, dan apalagi sebatas menyangkut kekuatan fisik. Memang disebutkan bahwa, agama adalah akal, tetapi maksud kalimat itu bukan agar dengan beragama kemudian melakukan perdebatan hingga saling menjatuhkan. Agama mengajarkan bahwa manakala di antara sesama terlibat pedebatan dan perbantahan, dan ternyata tidak menemukan penyelesaian, maka semua pihak supaya segera kembali kepada Allah dan Rasul-Nya.
Beragama sebagai cara untuk mendapatkan keselamatan, kebahagian, dan kedamaian akan menjadi kontraproduktif manakala adanya perbedaan melahirkan pertikaian, konflik, saling menjatuhkan, dan apalagi perang. Agama hadir bukan untuk saling bermusuhan, tetapi adalah agar umat manusia saling mengenal, memahami, menghargai, saling sayang menyayangi, dan berakhir menjadi saling tolong menolong.
Pada kenyataannya, dalam kehidupan sehari-hari, komunitas beragama yang berlainan keyakinannya, sama-sama saling membuat tembok pemisah. Seolah-olah antar mereka yang berbeda tidak boleh saling berkomunikasi atau berhubungan. Bahkan sebaliknya, seolah-olah dengan alasan perbedaan itu, dibolehkan saling mengolok-olok, menghujat dan menjatuhkan. Padahal bukankah, agama hadir adalah untuk keselamatan, kedamaian dan kebahagiaan itu.
Mengujat dan mencaci maki adalah bukan watak agama. Dalam sejarahnya, para utusan Tuhan yang disebut para Nabi dan Rasul, tidak ada yang menjadi pelopor saling menghujat itu. Semua nabi dan rasul memiliki sifat terpuji, mengajarkan tentang kasih sayang, saling menghargai, dan bertolong menolong. Jika dalam suatu sejarah terdapat nabi terlibat peperangan, maka peperangan itu jika dikaji secara mendalam, adalah dilakukan dalam maksud untuk membela diri. Oleh karena diperangi, maka ia menyelamatkan diri dengan cara berperang itu.
Sesuatu yang perlu dicatat dalam hal berperang adalah bahwa, ternyata perang fisik itu dipandang kecil, sementara itu yang dinilai besar adalah justru perang melawan diri sendiri. Sedangkan yang dimaksud perang melawan diri sendiri adalah perang melawan hawa nafsu. Menghujat, mengolok-olok, merendahkan, menjatuhkan atau mengalahkan pihak lain, adalah bagian dari nafsu yang selalu timbul dari dirinya sendiri. Kekuatan itu disebut nafsu yang seharusnya diperangi oleh yang bersangkutan sendiri. Sebab mengikuti hawa nafsu hanya akan merugikan dan bahkan menyakitkan dirinya sendiri. Wallahu a�lam -
Sumber : Imamsuprayogo.com