Memperbincangkan Islam dan ilmu pengetahuan terasa mendua. Pada tataran konsep dan atau petunjuk di dalam al Qur�an maupun hadits nabi sudah sedemikian jelas. Yaitu bahwa ajaran Islam mendorong umatnya agar mencari ilmu seluas-luasnya dan bahkan tanpa membatasi umur. Jika sekarang ini dikenal terdapat jenjang pendidikan, yaitu mulai dari PAUD hingga perguruan tinggi, sehingga ada batas menempuh pendidikan, maka dalam Islam tidak mengenal batas itu. Mencari ilmu hendaknya dijalankan mulai dari ayunan hingga masuk ke liang lahat atau meninggal.
Akan tetapi pada kenyataannya, dalam mencari ilmu, pada umumnya umat Islam masih tertinggal jauh di belakang. Lembaga pendidikan yang diselenggarakan atau dimiliki oleh umat Islam di mana saja masih tertinggal. Hingga sampai saat ini masih sulit ditemukan lembaga pendidikan Islam yang tergolong maju. Demikian pula perpustakaan, laboratorium atau pusat-pusat riset yang bisa dibanggakan masih sulit dicari. Memang dari sejarahnya, umat Islam dikenal sebagai perintis di dalam membangun lembaga pendidikan, seperti Universitas Al Azhar di Mesir, yang selama ini dikenal sebagai perguruan tinggi tertua.
Demikian pula juga dikenal tidak sedikit ilmuwan muslim yang selalu menjadi inspirator bagi ilmuwan lainnya. Sekedar menyebut beberapa nama misalnya Ibnu Sina, al Farabi, al Kindi, Ibnu Kholdun, al Ghazali, dan lain-lain. Para ilmuwan muslim dimaksud telah merintis tradisi pengembangan ilmu. Mereka melakukan pengamatan, eksperimentasi, perjalanan jauh, dan penulisan kitab-kitab dalam jumlah yang sedemikian banyak. Artinya, semangat mengembangkan ilmu sudah tumbuh sejak lama di kalangan umat Islam.
Namun pada perkembangan selanjutnya, ternyata kemajuan umat Islam berhasil dikalahkan dan akhirnya menjadi tertinggal. Pada saat sekarang ini, mendasarkan pada ajaran dan sejarahnya itu, seharusnya umat Islam dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan berposisi sebagai pemberi, manum ternyata tertinggal dan masih harus mencari ke negara-negara yang dikenal bukan muslim. Akibatnya, adalah amat luas. Ketertinggalan di bidang ilmu pengetahuan, juga diikuti oleh ketertinggalan pada bidang-bidang lainnya, baik bidang ekonomi, politik, sosial, pertahanan, dan lain-lain. Posisi di belakang dan akibatnya menjadi tergantung dalam banyak hal diawali dari ketertinggalannya di bidang pengembangan ilmu pengetahuan itu.
Untuk mengejar ketertinggalan itu, seharusnya umat Islam segera bangkit dan kemudian membangun lembaga pendidikan dan pusat-pusat riset yang mampu menghasilkan ilmu pengetahuan. Namun rupanya hal itu juga tidak mudah dilakukan oleh karena mereka juga masih berdebat dan berselisih tentang definisi ilmu yang dimaksudkan itu. Sementara mereka masih berdiskusi tentang cara pandang terhadap ilmu pengetahuan. Sementara pihak masih membedakan antara adanya ilmu agama dan ilmu umum. Sedangkan lainnya mengangap bahwa ilmu itu bersifat integratif, padu, dan bahkan inklusif.
Perdebatan itu rupanya juga harus membutuhkan waktu panjang. Sebagai contoh sederhana, perubahan kelembagaan pendidikan Islam di Indonesia yang semula berupa IAIN atau STAIN menjadi UIN juga masih ada yang memperdebatkan. Masih ada pihak-pihak yang mengatakan bahwa seharusnya lembaga itu tidak perlu berubah. Alasannya, agama itu ya agama dan umum itu ya umum. Keduanya harus dipisahkan dan dikembangkan sendiri-sendiri. Antara ilmu umum dan ilmu agama tidak perlu dicampur, dan bahkan dengan perubahan tersebut ada yang mengkhawatirkan ilmu agama menjadi hilang.
Membaca kenyataan tersebut, maka hambatan untuk mengembangkan pendidikan dan juga ilmu pengetahuan di kalangan umat Islam bukan berasal dari kekuatan eksternal, melainkan bersumber dari internal umat Islam sendiri. Mengajak maju umat Islam ternyata bukan perkara mudah. Hal demikian itu mungkin saja disebabkan oleh cara memandang Islam yang berbeda-beda. Ada sementara orang yang memandang Islam sebatas agama, tetapi selainnya mengangap bahwa Islam bukan sebatas agama melainkan juga peradaban. Jika Islam dipandang sebatas agama maka yang dikembangkan adalah ilmu-ilmu keagamaan, seperti syari�ah, ushuluddin, Tarbiyah, Dakwah dan Adab. Sementara itu, yang mengangap bahwa Islam tidak sebatas agama tetapi juga peradaban maka selain mengembangkan ilmu agama tersebut juga mengembangkan sains dan teknologi. Kapan berbagai pandangan itu berkompromi hingga menjadi kekuatan yang kokoh, ternyata masih perlu waktu untuk menunggu. Wallahu a�lam -
Akan tetapi pada kenyataannya, dalam mencari ilmu, pada umumnya umat Islam masih tertinggal jauh di belakang. Lembaga pendidikan yang diselenggarakan atau dimiliki oleh umat Islam di mana saja masih tertinggal. Hingga sampai saat ini masih sulit ditemukan lembaga pendidikan Islam yang tergolong maju. Demikian pula perpustakaan, laboratorium atau pusat-pusat riset yang bisa dibanggakan masih sulit dicari. Memang dari sejarahnya, umat Islam dikenal sebagai perintis di dalam membangun lembaga pendidikan, seperti Universitas Al Azhar di Mesir, yang selama ini dikenal sebagai perguruan tinggi tertua.
Demikian pula juga dikenal tidak sedikit ilmuwan muslim yang selalu menjadi inspirator bagi ilmuwan lainnya. Sekedar menyebut beberapa nama misalnya Ibnu Sina, al Farabi, al Kindi, Ibnu Kholdun, al Ghazali, dan lain-lain. Para ilmuwan muslim dimaksud telah merintis tradisi pengembangan ilmu. Mereka melakukan pengamatan, eksperimentasi, perjalanan jauh, dan penulisan kitab-kitab dalam jumlah yang sedemikian banyak. Artinya, semangat mengembangkan ilmu sudah tumbuh sejak lama di kalangan umat Islam.
Namun pada perkembangan selanjutnya, ternyata kemajuan umat Islam berhasil dikalahkan dan akhirnya menjadi tertinggal. Pada saat sekarang ini, mendasarkan pada ajaran dan sejarahnya itu, seharusnya umat Islam dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan berposisi sebagai pemberi, manum ternyata tertinggal dan masih harus mencari ke negara-negara yang dikenal bukan muslim. Akibatnya, adalah amat luas. Ketertinggalan di bidang ilmu pengetahuan, juga diikuti oleh ketertinggalan pada bidang-bidang lainnya, baik bidang ekonomi, politik, sosial, pertahanan, dan lain-lain. Posisi di belakang dan akibatnya menjadi tergantung dalam banyak hal diawali dari ketertinggalannya di bidang pengembangan ilmu pengetahuan itu.
Untuk mengejar ketertinggalan itu, seharusnya umat Islam segera bangkit dan kemudian membangun lembaga pendidikan dan pusat-pusat riset yang mampu menghasilkan ilmu pengetahuan. Namun rupanya hal itu juga tidak mudah dilakukan oleh karena mereka juga masih berdebat dan berselisih tentang definisi ilmu yang dimaksudkan itu. Sementara mereka masih berdiskusi tentang cara pandang terhadap ilmu pengetahuan. Sementara pihak masih membedakan antara adanya ilmu agama dan ilmu umum. Sedangkan lainnya mengangap bahwa ilmu itu bersifat integratif, padu, dan bahkan inklusif.
Perdebatan itu rupanya juga harus membutuhkan waktu panjang. Sebagai contoh sederhana, perubahan kelembagaan pendidikan Islam di Indonesia yang semula berupa IAIN atau STAIN menjadi UIN juga masih ada yang memperdebatkan. Masih ada pihak-pihak yang mengatakan bahwa seharusnya lembaga itu tidak perlu berubah. Alasannya, agama itu ya agama dan umum itu ya umum. Keduanya harus dipisahkan dan dikembangkan sendiri-sendiri. Antara ilmu umum dan ilmu agama tidak perlu dicampur, dan bahkan dengan perubahan tersebut ada yang mengkhawatirkan ilmu agama menjadi hilang.
Membaca kenyataan tersebut, maka hambatan untuk mengembangkan pendidikan dan juga ilmu pengetahuan di kalangan umat Islam bukan berasal dari kekuatan eksternal, melainkan bersumber dari internal umat Islam sendiri. Mengajak maju umat Islam ternyata bukan perkara mudah. Hal demikian itu mungkin saja disebabkan oleh cara memandang Islam yang berbeda-beda. Ada sementara orang yang memandang Islam sebatas agama, tetapi selainnya mengangap bahwa Islam bukan sebatas agama melainkan juga peradaban. Jika Islam dipandang sebatas agama maka yang dikembangkan adalah ilmu-ilmu keagamaan, seperti syari�ah, ushuluddin, Tarbiyah, Dakwah dan Adab. Sementara itu, yang mengangap bahwa Islam tidak sebatas agama tetapi juga peradaban maka selain mengembangkan ilmu agama tersebut juga mengembangkan sains dan teknologi. Kapan berbagai pandangan itu berkompromi hingga menjadi kekuatan yang kokoh, ternyata masih perlu waktu untuk menunggu. Wallahu a�lam -
Sumber : Imamsuprayogo.com
Memperbincangkan
Islam dan ilmu pengetahuan terasa mendua. Pada tataran konsep dan atau
petunjuk di dalam al Qur�an maupun hadits nabi sudah sedemikian jelas.
Yaitu bahwa ajaran Islam mendorong umatnya agar mencari ilmu
seluas-luasnya dan bahkan tanpa membatasi umur. Jika sekarang ini
dikenal terdapat jenjang pendidikan, yaitu mulai dari PAUD hingga
perguruan tinggi, sehingga ada batas menempuh pendidikan, maka dalam
Islam tidak mengenal batas itu. Mencari ilmu hendaknya dijalankan mulai
dari ayunan hingga masuk ke liang lahat atau meninggal.
Akan tetapi pada kenyataannya, dalam mencari ilmu, pada umumnya umat Islam masih tertinggal jauh di belakang. Lembaga pendidikan yang diselenggarakan atau dimiliki oleh umat Islam di mana saja masih tertinggal. Hingga sampai saat ini masih sulit ditemukan lembaga pendidikan Islam yang tergolong maju. Demikian pula perpustakaan, laboratorium atau pusat-pusat riset yang bisa dibanggakan masih sulit dicari. Memang dari sejarahnya, umat Islam dikenal sebagai perintis di dalam membangun lembaga pendidikan, seperti Universitas Al Azhar di Mesir, yang selama ini dikenal sebagai perguruan tinggi tertua.
Demikian pula juga dikenal tidak sedikit ilmuwan muslim yang selalu menjadi inspirator bagi ilmuwan lainnya. Sekedar menyebut beberapa nama misalnya Ibnu Sina, al Farabi, al Kindi, Ibnu Kholdun, al Ghazali, dan lain-lain. Para ilmuwan muslim dimaksud telah merintis tradisi pengembangan ilmu. Mereka melakukan pengamatan, eksperimentasi, perjalanan jauh, dan penulisan kitab-kitab dalam jumlah yang sedemikian banyak. Artinya, semangat mengembangkan ilmu sudah tumbuh sejak lama di kalangan umat Islam.
Namun pada perkembangan selanjutnya, ternyata kemajuan umat Islam berhasil dikalahkan dan akhirnya menjadi tertinggal. Pada saat sekarang ini, mendasarkan pada ajaran dan sejarahnya itu, seharusnya umat Islam dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan berposisi sebagai pemberi, manum ternyata tertinggal dan masih harus mencari ke negara-negara yang dikenal bukan muslim. Akibatnya, adalah amat luas. Ketertinggalan di bidang ilmu pengetahuan, juga diikuti oleh ketertinggalan pada bidang-bidang lainnya, baik bidang ekonomi, politik, sosial, pertahanan, dan lain-lain. Posisi di belakang dan akibatnya menjadi tergantung dalam banyak hal diawali dari ketertinggalannya di bidang pengembangan ilmu pengetahuan itu.
Untuk mengejar ketertinggalan itu, seharusnya umat Islam segera bangkit dan kemudian membangun lembaga pendidikan dan pusat-pusat riset yang mampu menghasilkan ilmu pengetahuan. Namun rupanya hal itu juga tidak mudah dilakukan oleh karena mereka juga masih berdebat dan berselisih tentang definisi ilmu yang dimaksudkan itu. Sementara mereka masih berdiskusi tentang cara pandang terhadap ilmu pengetahuan. Sementara pihak masih membedakan antara adanya ilmu agama dan ilmu umum. Sedangkan lainnya mengangap bahwa ilmu itu bersifat integratif, padu, dan bahkan inklusif.
Perdebatan itu rupanya juga harus membutuhkan waktu panjang. Sebagai contoh sederhana, perubahan kelembagaan pendidikan Islam di Indonesia yang semula berupa IAIN atau STAIN menjadi UIN juga masih ada yang memperdebatkan. Masih ada pihak-pihak yang mengatakan bahwa seharusnya lembaga itu tidak perlu berubah. Alasannya, agama itu ya agama dan umum itu ya umum. Keduanya harus dipisahkan dan dikembangkan sendiri-sendiri. Antara ilmu umum dan ilmu agama tidak perlu dicampur, dan bahkan dengan perubahan tersebut ada yang mengkhawatirkan ilmu agama menjadi hilang.
Membaca kenyataan tersebut, maka hambatan untuk mengembangkan pendidikan dan juga ilmu pengetahuan di kalangan umat Islam bukan berasal dari kekuatan eksternal, melainkan bersumber dari internal umat Islam sendiri. Mengajak maju umat Islam ternyata bukan perkara mudah. Hal demikian itu mungkin saja disebabkan oleh cara memandang Islam yang berbeda-beda. Ada sementara orang yang memandang Islam sebatas agama, tetapi selainnya mengangap bahwa Islam bukan sebatas agama melainkan juga peradaban. Jika Islam dipandang sebatas agama maka yang dikembangkan adalah ilmu-ilmu keagamaan, seperti syari�ah, ushuluddin, Tarbiyah, Dakwah dan Adab. Sementara itu, yang mengangap bahwa Islam tidak sebatas agama tetapi juga peradaban maka selain mengembangkan ilmu agama tersebut juga mengembangkan sains dan teknologi. Kapan berbagai pandangan itu berkompromi hingga menjadi kekuatan yang kokoh, ternyata masih perlu waktu untuk menunggu. Wallahu a�lam - See more at: http://imamsuprayogo.com/viewd_artikel.php?pg=2994#sthash.DMiGWPu2.dpuf
Akan tetapi pada kenyataannya, dalam mencari ilmu, pada umumnya umat Islam masih tertinggal jauh di belakang. Lembaga pendidikan yang diselenggarakan atau dimiliki oleh umat Islam di mana saja masih tertinggal. Hingga sampai saat ini masih sulit ditemukan lembaga pendidikan Islam yang tergolong maju. Demikian pula perpustakaan, laboratorium atau pusat-pusat riset yang bisa dibanggakan masih sulit dicari. Memang dari sejarahnya, umat Islam dikenal sebagai perintis di dalam membangun lembaga pendidikan, seperti Universitas Al Azhar di Mesir, yang selama ini dikenal sebagai perguruan tinggi tertua.
Demikian pula juga dikenal tidak sedikit ilmuwan muslim yang selalu menjadi inspirator bagi ilmuwan lainnya. Sekedar menyebut beberapa nama misalnya Ibnu Sina, al Farabi, al Kindi, Ibnu Kholdun, al Ghazali, dan lain-lain. Para ilmuwan muslim dimaksud telah merintis tradisi pengembangan ilmu. Mereka melakukan pengamatan, eksperimentasi, perjalanan jauh, dan penulisan kitab-kitab dalam jumlah yang sedemikian banyak. Artinya, semangat mengembangkan ilmu sudah tumbuh sejak lama di kalangan umat Islam.
Namun pada perkembangan selanjutnya, ternyata kemajuan umat Islam berhasil dikalahkan dan akhirnya menjadi tertinggal. Pada saat sekarang ini, mendasarkan pada ajaran dan sejarahnya itu, seharusnya umat Islam dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan berposisi sebagai pemberi, manum ternyata tertinggal dan masih harus mencari ke negara-negara yang dikenal bukan muslim. Akibatnya, adalah amat luas. Ketertinggalan di bidang ilmu pengetahuan, juga diikuti oleh ketertinggalan pada bidang-bidang lainnya, baik bidang ekonomi, politik, sosial, pertahanan, dan lain-lain. Posisi di belakang dan akibatnya menjadi tergantung dalam banyak hal diawali dari ketertinggalannya di bidang pengembangan ilmu pengetahuan itu.
Untuk mengejar ketertinggalan itu, seharusnya umat Islam segera bangkit dan kemudian membangun lembaga pendidikan dan pusat-pusat riset yang mampu menghasilkan ilmu pengetahuan. Namun rupanya hal itu juga tidak mudah dilakukan oleh karena mereka juga masih berdebat dan berselisih tentang definisi ilmu yang dimaksudkan itu. Sementara mereka masih berdiskusi tentang cara pandang terhadap ilmu pengetahuan. Sementara pihak masih membedakan antara adanya ilmu agama dan ilmu umum. Sedangkan lainnya mengangap bahwa ilmu itu bersifat integratif, padu, dan bahkan inklusif.
Perdebatan itu rupanya juga harus membutuhkan waktu panjang. Sebagai contoh sederhana, perubahan kelembagaan pendidikan Islam di Indonesia yang semula berupa IAIN atau STAIN menjadi UIN juga masih ada yang memperdebatkan. Masih ada pihak-pihak yang mengatakan bahwa seharusnya lembaga itu tidak perlu berubah. Alasannya, agama itu ya agama dan umum itu ya umum. Keduanya harus dipisahkan dan dikembangkan sendiri-sendiri. Antara ilmu umum dan ilmu agama tidak perlu dicampur, dan bahkan dengan perubahan tersebut ada yang mengkhawatirkan ilmu agama menjadi hilang.
Membaca kenyataan tersebut, maka hambatan untuk mengembangkan pendidikan dan juga ilmu pengetahuan di kalangan umat Islam bukan berasal dari kekuatan eksternal, melainkan bersumber dari internal umat Islam sendiri. Mengajak maju umat Islam ternyata bukan perkara mudah. Hal demikian itu mungkin saja disebabkan oleh cara memandang Islam yang berbeda-beda. Ada sementara orang yang memandang Islam sebatas agama, tetapi selainnya mengangap bahwa Islam bukan sebatas agama melainkan juga peradaban. Jika Islam dipandang sebatas agama maka yang dikembangkan adalah ilmu-ilmu keagamaan, seperti syari�ah, ushuluddin, Tarbiyah, Dakwah dan Adab. Sementara itu, yang mengangap bahwa Islam tidak sebatas agama tetapi juga peradaban maka selain mengembangkan ilmu agama tersebut juga mengembangkan sains dan teknologi. Kapan berbagai pandangan itu berkompromi hingga menjadi kekuatan yang kokoh, ternyata masih perlu waktu untuk menunggu. Wallahu a�lam - See more at: http://imamsuprayogo.com/viewd_artikel.php?pg=2994#sthash.DMiGWPu2.dpuf