Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Prof Imam Suprayogo : Mengingat Kematian

Senin, 09 Mei 2016 | 11.19 WIB Last Updated 2016-05-09T04:19:03Z
Peristiwa kematian seharusnya dirasakan sebagai sesuatu yang menakutkan, tetapi oleh karena hidup sendiri sudah dianggap sebagai hal biasa, maka apa yang sebenarnya menakutkan itu juga sudah dianggap biasa. Artinya rasa takut menjadi hilang. Orang menganggap bahwa hidup ini sebagai hal biasa, yaitu dari lahir, tumbuh dan berkembang, dewasa, menua, dan kemudian mati.

Padahal secara umum kehidupan ini telah dipahami, yaitu hanya akan berlangsung sekali. Tidak pernah akan berulang kembali. Hidup bisa disamakan dengan air, yaitu mengalir, dari atas ke bawah. Tidak pernah ada air setelah berada di bawah, kembali ke atas, tetapi terus ke bawah hingga tidak berkesudahan. Kecuali, ketika air itu sudah berubah sifatnya, yaitu menjadi uap, maka akan berbalik arah, yaitu naik ke atas.

Kamatian bukan perkara mudah. Memang kejadian itu merupakan peristiwa biasa. Siapapun akan mengalaminya. Mensikapi kematian, ada saja orang yang berkeyakinan bahwa, ketika peristiwa itu telah datang pada diri seseorang, maka dipandang habislah cerita yang bersangkutan. Mati artinya berhenti dan selesai sejarah kehidupan itu. Akan tetapi, ada ajaran yang mengatakan bahwa, mati adalah awal dari kehidupan yang sebenarnya. Islam mengajarkan keyakinan sebagaimana disebutksan yang terakhir ini.

Bahkan, kehidupan setelah mati adalah ditentukan oleh perilaku yang bersangkutan ketika masih hidup di dunia. Orang yang menjalani hidupnya dengan benar, yakni beriman, beramal saheleh dan berakhlak mulia, maka di akherat atau kehidupan kembali setelah mati akan meraih kebahagiaan. Demikian pula sebaliknya, bagi orang yang lalai akan amanah kehidupan ini, akan menuai kesengsaraan yang tidak mengenal akhir. Kesengsaraan itu akan diterimanya selama-lamanya.

Bagi orang yang meyakini akan ada kehidupan kembali, yaitu kehidupan akherat, maka kematian akan dianggap sebagai peristiwa yang menakutkan, yakni antara lulus dan tidak lulus, antara selamat dan tidak selamat, atau antara kebahagiaan atau sebaliknya, yaitu siksa yang tidak akan bisa dielakkan. Bagi orang yang meyakini akan hal itu, maka kematian adalah sesuatu peristiwa yang menakutkan. Cara menghindari rasa takut itu adalah dengan merawat keimanan, beramal shaleh, dan menjaga akhlaknya yakni berperilaku sebagaimana dicontohkan oleh Rasul-Nya.

Sebagaimana disebutkan di muka bahwa kehidupan ini tidak bisa diulang. Sekali salah maka seterusnya akan menanggung resiko atas kesalahannya. Keyakinan yang demikian itu, akan menjadikan orang berhati-hati dan penuh perhitungan di dalam menjalani hidupnya. Mereka tidak mau dijalani hidupnya hanya dengan asal-asalan dan atau sia-sia. Hidup ini adalah sesuatu yang mahal dan harus dijaga sebaik-baiknya.

Orang yang meyakini bahwa kehidupan di akherat lebih kekal dan harus menjadi pilihannya, maka tidak akan berani menyia-nyiakan masa hidupnya. Apalagi, keselamatkan di akherat juga selalu berkait dengan keselamatan di dunia. Mereka yang berharap memperoleh keselamatan di akherat maka akan merasa berkeharusan menjalani kehidupan di dunia secara tepat dan benar. Selain itu, juga diyakini bahwa keselamatan harus diraih melalui cara-cara yang menyelamatkan, dan bukan sebaliknya.

Diajarkan bahwa kehidupan yang menyelamatkan itu misalnya adalah selalu berbuat baik pada kedua orang tua, tidak mensyerikatkan Allah, beriman dan beramal shaleh, mampu menjaga amanah yang diberikan kepadanya. Seseorang harus menjaga jiwanya, akalnya, keturunannya, agamanya, dan hartanya. Sebaliknya, orang akan merugi dan celaka manakala mengabaikan amanah. Misalnya, merusak akalnya dengan meminum narkoba, merusak keturunan dengan berzina, dan seterusnya.

Maka sebenarnya, kehidupan ini sudah jelas. Ajaran yang diberikan untuk menjalani kehidupan ini, agar selamat dan bahagia, juga sudah jelas. Ajran dan makna tentang kehidupan ini sebenarnya juga telah dimiliki oleh masing-masing orang. Setiap orang memiliki suara hati yang sama, merasakan ada kebenaran yang bersumber dari dadanya masing-masing. Tatkala melakukan kebaikan akan merasakan kegembiraan dan hatinya merasa tenang.

Sebaliknya, tatkala melakukan kesalahan dan merugikan dirinya sendiri dan juga orang hlain, maka hatinya akan galau dan atau tidak tenang. Kebenaran dan kesalahan itu sebenarnya sudah tampak dan bisa dirasakan oleh masing-masing orang. Persoalannya adalah adakah memampuan dan kemauan bagi setiap orang untuk jujur, mempercayai, dan mengikuti suara hatinya masing-masing. Manakala suara hatinya sendiri berhasil diperca, maka siapapun akan menjadi baik dan selamat. Kedatangan kematian pun akan dipandang sebagai sesuatu yang bukan menakutkan. Wallahu a�lam -

Sumber : Imamsuprayogo.com
×
Berita Terbaru Update