Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Prof Imam Suprayogo : Cita-Cita Orang Beragama

Rabu, 11 Mei 2016 | 15.58 WIB Last Updated 2016-05-11T08:58:23Z
Orang tekun menjalankan agama bukan untuk memperoleh kemenangan, melainkan untuk meraih keselamatan dan kebahagiaan. Umpama saja mereka menginginkan kemenangan, maka kemenangan yang dimaksudkan bukan karena berhasil mengalahkan orang lain, tetapi telah berhasil mengalahkan dirinya sendiri. Dalam beragama, orang lain bukan diposisikan sebagai musuh dan dibinasakan, melainkan justru diajak untuk bersama-sama memperoleh keselamatan dan kebahagiaan itu.

Pandangan tersebut menjadikan makna menang di dalam beragama berbeda dari menang dalam berkompetisi, atau juga peperangan. Disebut menang di dalam beragama jika yang bersangkutan berhasil memperoleh keselamatan dan kebahagiaan itu. Tidak berbeda dengan hal tersebut, sebuah kemenangan bilamana seseorang telah berhasil mengajak orang lain menjadi lebih baik, lebih pintar, lebih kuat, lebih kaya dibanding sebelumnya. Artinya cita-cita orang beragama adalah menyelamatkan dan membahagiakan.

Jika di dalam suatu pertandingan, tinju misalnya, seseorang dinyatakan sebagai pemenang adalah tatkala memperoleh score atau bahkan berhasil merobohkan lawannya. Akan tetapi di dalam beragama, seseorang dikatakan menang dalam berdakwah adalah ketika orang lain yang semula memusuhi justru berbalik menjadi kawan atau jama�ahnya. Agama adalah selalu berusaha menyelamatkan dan membahagiakan, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.

Namun anehnya, dalam kehidupan masyarakat, agama menjadi gejala sosiologis, dan kemudian disamakan dengan idiologi suatu kelompok atau organisasi. Akibatnya, orang lain yang tidak seagama atau sealiran dipandang sebagai pesaing, pengganggu, dan bahkan musuh. Bahkan sebagaimana gejala sosiologis pada umumnya, kelompok lain dianggap sebagai musuh yang harus diperlemah atau dikalahkan. Padahal seharusnya mendasarkan pada nilai-nilai agama, orang atau kelompok lain melalui cara-cara bijak atau hikmah, seharusnya diajak bersatu dan bersama-sama meraih kesalamatan dan kebahagiaan.

Keselamatan dan kebahagiaan yang dicita-citakan oleh orang beragama selalu dalam perspektif yang jauh, yaitu meliputi di dunia maupun di akherat. Kedua-duanya, yakni dunia dan akherat, diharapkan berhasil diraih sekaligus. Akan tetapi, bagi orang beragama, umpama mereka harus memilih, maka akan lebih mengutamakan keselamatan dan kebahagiaan di akherat kelak. Itulah sebabnya, muncul jargon yang mengatakan bahwa rugi atau gagal di dunia tidak mengapa asalkan tidak rugi di akherat. Oleh karena itu, orang beragama mendasarkan nilai-nilai yang ditawarkan oleh kitab suci atau ajarannya lebih memilih alternatif capaian yang lebih kekal dan abadi.

Atas dasar pandangan tersebut, seorang beragama usaha meraih kekayaan dan kekuasaan setinggi-tingginya adalah dianggap penting, sepanjang hal itu bisa mengantarkan dirinya pada kesalamatan dan kebahagiaan jangka panjang, yaitu pada kehidupan di akherat. Kekayaaan dan kekuasaan bagi orang beragama seharusnya dijadikan sarana untuk meraih keselamatan dan kebahagiaan jangka panjang dimaksud. Selain itu, kekayaan dan kekuasaan diangap tidak memiliki arti bagi kehidupan seseorang, dan bahkan menjadi musibah jika tidak dimanfaatkan untuk kepentingan jangka panjang itu.

Orang beragama menganggap bahwa kehidupan di dunia ini pendek, sebentar, dekat, dan sederhana. Oleh karena itu tidak boleh hal yang sederhana dan sejenisnya itu mengalahkan kehidupan jangka panjang yang lebih mendasar dan berkekalan. Atas dasar pandangan tersebut, bagi orang beragama, meskipun oleh orang lain yang tidak beragama, dianggap kalah dan tertinggal, tetapi bagi yang bersangkutan sendiri tidak merasakan yang demikian itu. Sebab kemenangan bagi orang beragama, ���-sebagaimana cita-citanya, adalah keberhasilan masa depan yang lebih jauh, abadi, atau kekal itu. Wallahu a�lam -

Sumber: imamsuprayogo.com
Orang tekun menjalankan agama bukan untuk memperoleh kemenangan, melainkan untuk meraih keselamatan dan kebahagiaan. Umpama saja mereka menginginkan kemenangan, maka kemenangan yang dimaksudkan bukan karena berhasil mengalahkan orang lain, tetapi telah berhasil mengalahkan dirinya sendiri. Dalam beragama, orang lain bukan diposisikan sebagai musuh dan dibinasakan, melainkan justru diajak untuk bersama-sama memperoleh keselamatan dan kebahagiaan itu.

Pandangan tersebut menjadikan makna menang di dalam beragama berbeda dari menang dalam berkompetisi, atau juga peperangan. Disebut menang di dalam beragama jika yang bersangkutan berhasil memperoleh keselamatan dan kebahagiaan itu. Tidak berbeda dengan hal tersebut, sebuah kemenangan bilamana seseorang telah berhasil mengajak orang lain menjadi lebih baik, lebih pintar, lebih kuat, lebih kaya dibanding sebelumnya. Artinya cita-cita orang beragama adalah menyelamatkan dan membahagiakan.

Jika di dalam suatu pertandingan, tinju misalnya, seseorang dinyatakan sebagai pemenang adalah tatkala memperoleh score atau bahkan berhasil merobohkan lawannya. Akan tetapi di dalam beragama, seseorang dikatakan menang dalam berdakwah adalah ketika orang lain yang semula memusuhi justru berbalik menjadi kawan atau jama�ahnya. Agama adalah selalu berusaha menyelamatkan dan membahagiakan, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.

Namun anehnya, dalam kehidupan masyarakat, agama menjadi gejala sosiologis, dan kemudian disamakan dengan idiologi suatu kelompok atau organisasi. Akibatnya, orang lain yang tidak seagama atau sealiran dipandang sebagai pesaing, pengganggu, dan bahkan musuh. Bahkan sebagaimana gejala sosiologis pada umumnya, kelompok lain dianggap sebagai musuh yang harus diperlemah atau dikalahkan. Padahal seharusnya mendasarkan pada nilai-nilai agama, orang atau kelompok lain melalui cara-cara bijak atau hikmah, seharusnya diajak bersatu dan bersama-sama meraih kesalamatan dan kebahagiaan.

Keselamatan dan kebahagiaan yang dicita-citakan oleh orang beragama selalu dalam perspektif yang jauh, yaitu meliputi di dunia maupun di akherat. Kedua-duanya, yakni dunia dan akherat, diharapkan berhasil diraih sekaligus. Akan tetapi, bagi orang beragama, umpama mereka harus memilih, maka akan lebih mengutamakan keselamatan dan kebahagiaan di akherat kelak. Itulah sebabnya, muncul jargon yang mengatakan bahwa rugi atau gagal di dunia tidak mengapa asalkan tidak rugi di akherat. Oleh karena itu, orang beragama mendasarkan nilai-nilai yang ditawarkan oleh kitab suci atau ajarannya lebih memilih alternatif capaian yang lebih kekal dan abadi.

Atas dasar pandangan tersebut, seorang beragama usaha meraih kekayaan dan kekuasaan setinggi-tingginya adalah dianggap penting, sepanjang hal itu bisa mengantarkan dirinya pada kesalamatan dan kebahagiaan jangka panjang, yaitu pada kehidupan di akherat. Kekayaaan dan kekuasaan bagi orang beragama seharusnya dijadikan sarana untuk meraih keselamatan dan kebahagiaan jangka panjang dimaksud. Selain itu, kekayaan dan kekuasaan diangap tidak memiliki arti bagi kehidupan seseorang, dan bahkan menjadi musibah jika tidak dimanfaatkan untuk kepentingan jangka panjang itu.

Orang beragama menganggap bahwa kehidupan di dunia ini pendek, sebentar, dekat, dan sederhana. Oleh karena itu tidak boleh hal yang sederhana dan sejenisnya itu mengalahkan kehidupan jangka panjang yang lebih mendasar dan berkekalan. Atas dasar pandangan tersebut, bagi orang beragama, meskipun oleh orang lain yang tidak beragama, dianggap kalah dan tertinggal, tetapi bagi yang bersangkutan sendiri tidak merasakan yang demikian itu. Sebab kemenangan bagi orang beragama, ���-sebagaimana cita-citanya, adalah keberhasilan masa depan yang lebih jauh, abadi, atau kekal itu. Wallahu a�lam - See more at: http://imamsuprayogo.com/viewd_artikel.php?pg=2967#sthash.iMILGTBr.dpuf
Orang tekun menjalankan agama bukan untuk memperoleh kemenangan, melainkan untuk meraih keselamatan dan kebahagiaan. Umpama saja mereka menginginkan kemenangan, maka kemenangan yang dimaksudkan bukan karena berhasil mengalahkan orang lain, tetapi telah berhasil mengalahkan dirinya sendiri. Dalam beragama, orang lain bukan diposisikan sebagai musuh dan dibinasakan, melainkan justru diajak untuk bersama-sama memperoleh keselamatan dan kebahagiaan itu.

Pandangan tersebut menjadikan makna menang di dalam beragama berbeda dari menang dalam berkompetisi, atau juga peperangan. Disebut menang di dalam beragama jika yang bersangkutan berhasil memperoleh keselamatan dan kebahagiaan itu. Tidak berbeda dengan hal tersebut, sebuah kemenangan bilamana seseorang telah berhasil mengajak orang lain menjadi lebih baik, lebih pintar, lebih kuat, lebih kaya dibanding sebelumnya. Artinya cita-cita orang beragama adalah menyelamatkan dan membahagiakan.

Jika di dalam suatu pertandingan, tinju misalnya, seseorang dinyatakan sebagai pemenang adalah tatkala memperoleh score atau bahkan berhasil merobohkan lawannya. Akan tetapi di dalam beragama, seseorang dikatakan menang dalam berdakwah adalah ketika orang lain yang semula memusuhi justru berbalik menjadi kawan atau jama�ahnya. Agama adalah selalu berusaha menyelamatkan dan membahagiakan, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.

Namun anehnya, dalam kehidupan masyarakat, agama menjadi gejala sosiologis, dan kemudian disamakan dengan idiologi suatu kelompok atau organisasi. Akibatnya, orang lain yang tidak seagama atau sealiran dipandang sebagai pesaing, pengganggu, dan bahkan musuh. Bahkan sebagaimana gejala sosiologis pada umumnya, kelompok lain dianggap sebagai musuh yang harus diperlemah atau dikalahkan. Padahal seharusnya mendasarkan pada nilai-nilai agama, orang atau kelompok lain melalui cara-cara bijak atau hikmah, seharusnya diajak bersatu dan bersama-sama meraih kesalamatan dan kebahagiaan.

Keselamatan dan kebahagiaan yang dicita-citakan oleh orang beragama selalu dalam perspektif yang jauh, yaitu meliputi di dunia maupun di akherat. Kedua-duanya, yakni dunia dan akherat, diharapkan berhasil diraih sekaligus. Akan tetapi, bagi orang beragama, umpama mereka harus memilih, maka akan lebih mengutamakan keselamatan dan kebahagiaan di akherat kelak. Itulah sebabnya, muncul jargon yang mengatakan bahwa rugi atau gagal di dunia tidak mengapa asalkan tidak rugi di akherat. Oleh karena itu, orang beragama mendasarkan nilai-nilai yang ditawarkan oleh kitab suci atau ajarannya lebih memilih alternatif capaian yang lebih kekal dan abadi.

Atas dasar pandangan tersebut, seorang beragama usaha meraih kekayaan dan kekuasaan setinggi-tingginya adalah dianggap penting, sepanjang hal itu bisa mengantarkan dirinya pada kesalamatan dan kebahagiaan jangka panjang, yaitu pada kehidupan di akherat. Kekayaaan dan kekuasaan bagi orang beragama seharusnya dijadikan sarana untuk meraih keselamatan dan kebahagiaan jangka panjang dimaksud. Selain itu, kekayaan dan kekuasaan diangap tidak memiliki arti bagi kehidupan seseorang, dan bahkan menjadi musibah jika tidak dimanfaatkan untuk kepentingan jangka panjang itu.

Orang beragama menganggap bahwa kehidupan di dunia ini pendek, sebentar, dekat, dan sederhana. Oleh karena itu tidak boleh hal yang sederhana dan sejenisnya itu mengalahkan kehidupan jangka panjang yang lebih mendasar dan berkekalan. Atas dasar pandangan tersebut, bagi orang beragama, meskipun oleh orang lain yang tidak beragama, dianggap kalah dan tertinggal, tetapi bagi yang bersangkutan sendiri tidak merasakan yang demikian itu. Sebab kemenangan bagi orang beragama, ���-sebagaimana cita-citanya, adalah keberhasilan masa depan yang lebih jauh, abadi, atau kekal itu. Wallahu a�lam - See more at: http://imamsuprayogo.com/viewd_artikel.php?pg=2967#sthash.iMILGTBr.dpuf
×
Berita Terbaru Update