Semua orang tahu dan sadar bahwa kesempatan hidup ini hanyalah sekali. Tidak pernah ada cerita bahwa ada seseorang hidup di dunia ini sudah dijalaninya kedua kalinya atau bahkan lebih. Hidup ini begitu berakhir, maka tidak akan kembali lagi. Harta kekayaan yang diperoleh dengan cara sedemikian berat, dan oleh karena itu sangat dicintainya, ketika yang bersangkutan meninggal dunia tidak akan menjadi miliknya lagi. Semua akan lepas dari dirinya dan kemudian menjadi milik orang lain.
Serupa dengan harta kekayaan, kemuliaan seseorang di dunia juga akan terbatas. Seseorang disebut mulia dan dihargai di dunia ini juga dengan ukuran yang sederhana, misalnya dari jumlah harta kekayaannya, keluasan ilmu, kekuasaan, dan sejenisnya. Padahal itu semua, sebenarnya hanyalah ukuran untuk di dunia. Manusia sajalah yang membuat ukuran itu. Setelah mengakhiri kehidupan di dunia dan masuk pada kehidupan berikutnya, yakni di akherat, ukuran itu sudah akan berubah.
Ukuran kemuliaan di akherat kelak adalah dari ketaatannya pada Allah dan Rasul-Nya. Pemilik langit dan bumi serta segala seisinya akan menilai seseorang dari keteguhannya di dalam menjaga iman yang diberikan kepadanya, ketaqwaan, dari kebersihan hatinya, dan dari amal shalehnya. Harta kekayaan, pangkat, dan jabatan yang ada pada seseorang justru akan dimintai pertanggung jawabannya. Manakala hal itu tidak dijalankan secara benar, maka akan menjadi penghalang bagi yang bersangkutan dalam meraih keselamatan dan kemuliaan.
Oleh karena itu, pintu menuju kemuliaan yang sebenarnya bukan harta, jabatan dan atau asesoris kehidupan dunia melainkan adalah dzikr atau ingat Allah dan Rasul-Nya. Orang yang selalu ingat Allah dan Rasul-Nya pasti tidak akan melakukan hal yang buruk, keji, dan dosa. Sebaliknya, seseorang yang sedang melakukan kejahatan dan atau dosa adalah pasti ketika mereka tidak sedang dalam keadaan ingat Allah dan Rasul-Nya. Itulah sebabnya, mengingat Allah adalah jalan menuju pintu kemulliaan. Selain itu, berdzikir seharusnya dilakukan sepanjang waktu atau sebanyak-banyaknya.
Berdzikir tidak harus dilakukan melalui ucapan, tetapi bisa dilakukan di dalam hati. Sebagai seorang guru, maka ketika sedang mengajar, maka di dalam hatinya selalu ingat Allah dan Rasul-Nya. Demikian pula seorang petani yang sedang bekerja di sawah atau di kebun, seorang pedagang baik ketika mencari dagangan dan menjualkannya kembali, seorang buruh ketika bekerja di tempat kerjanya, seorang pejabat, politikus, seorang ilmuwan ketika sedang meneliti, dan seterusnya, seharusnya tidak putus berdzikir atau ingat pada Allah dan Rasul-Nya.
Siapapun yang selalu ingat Allah dan Rasul-Nya, selain terhindar dari perbuatan buruk dan dosa, juga akan mengerjakan pekerjaannya dengan cara terbaik, atau disebut shaleh. Apa yang dilakukannya bukan semata-mata untuk memenuhi tugas dan kewajibannya, melainkan dipandang memiliki nilai transenden, sehingga harus dilakukan dengan cara yang terbaik itu. Oleh karena itu, berdzikir atau ingat Allah dan Rasul-Nya dipastikan akan meningkatkan kualitas amalnya.
Sebaliknya dengan mudah dapat dipastikan, bahwa pekerjaan apapun yang dijalankan dengan cara menyimpang, mengabaikan mutu, boros, dan apalagi korup, sebenarnya hati para pelakunya dipastikan tidak pernah mengingat Allah dan Rasul-Nya. Apa yang dilakukannya hanya sebatas untuk memperoleh upah, keuntungan, dan hal lain yang bersifat rendah, yaitu mengikuti hawa nafsunya. Maka hasilnya juga akan menjadi buruk, rendah atau tidak berkualitas sebagaimana sifat hawa nafsu itu sendiri.
Oleh karena itu, memperbaiki bangsa, sebenarnya tidak terlalu sulit, yaitu mengajak selalu berdzikir, yaitu ingat Allah dan Rasul-Nya tanpa henti, sepanjang waktu. Siapapun yang ingat dan mengikuti Allah dan Rasul-Nya, akan melakukan apa saja dengan cara terbaik, atau beramal shaleh. Ingat terhadap sesuatu yang agung dan mulia, akan menjadi mulia. Sebaliknya, mengingat sesuatu yang rendah dan apalagi buruk, maka akan menghasilkan sesuatu yang buruk pula. Kualitas seseorang akan tergantung pada apa dan siapa yang diingat. Islam mengajarkan agar seseorang selalu ingat pada Allah dan Rasul-Nya, oleh karena itu apa yang dilakukan seharusnya meraih hasil terbaik dan mulia. Wallahu a�lam -
Sumber: imamsuprayogo.com
Serupa dengan harta kekayaan, kemuliaan seseorang di dunia juga akan terbatas. Seseorang disebut mulia dan dihargai di dunia ini juga dengan ukuran yang sederhana, misalnya dari jumlah harta kekayaannya, keluasan ilmu, kekuasaan, dan sejenisnya. Padahal itu semua, sebenarnya hanyalah ukuran untuk di dunia. Manusia sajalah yang membuat ukuran itu. Setelah mengakhiri kehidupan di dunia dan masuk pada kehidupan berikutnya, yakni di akherat, ukuran itu sudah akan berubah.
Ukuran kemuliaan di akherat kelak adalah dari ketaatannya pada Allah dan Rasul-Nya. Pemilik langit dan bumi serta segala seisinya akan menilai seseorang dari keteguhannya di dalam menjaga iman yang diberikan kepadanya, ketaqwaan, dari kebersihan hatinya, dan dari amal shalehnya. Harta kekayaan, pangkat, dan jabatan yang ada pada seseorang justru akan dimintai pertanggung jawabannya. Manakala hal itu tidak dijalankan secara benar, maka akan menjadi penghalang bagi yang bersangkutan dalam meraih keselamatan dan kemuliaan.
Oleh karena itu, pintu menuju kemuliaan yang sebenarnya bukan harta, jabatan dan atau asesoris kehidupan dunia melainkan adalah dzikr atau ingat Allah dan Rasul-Nya. Orang yang selalu ingat Allah dan Rasul-Nya pasti tidak akan melakukan hal yang buruk, keji, dan dosa. Sebaliknya, seseorang yang sedang melakukan kejahatan dan atau dosa adalah pasti ketika mereka tidak sedang dalam keadaan ingat Allah dan Rasul-Nya. Itulah sebabnya, mengingat Allah adalah jalan menuju pintu kemulliaan. Selain itu, berdzikir seharusnya dilakukan sepanjang waktu atau sebanyak-banyaknya.
Berdzikir tidak harus dilakukan melalui ucapan, tetapi bisa dilakukan di dalam hati. Sebagai seorang guru, maka ketika sedang mengajar, maka di dalam hatinya selalu ingat Allah dan Rasul-Nya. Demikian pula seorang petani yang sedang bekerja di sawah atau di kebun, seorang pedagang baik ketika mencari dagangan dan menjualkannya kembali, seorang buruh ketika bekerja di tempat kerjanya, seorang pejabat, politikus, seorang ilmuwan ketika sedang meneliti, dan seterusnya, seharusnya tidak putus berdzikir atau ingat pada Allah dan Rasul-Nya.
Siapapun yang selalu ingat Allah dan Rasul-Nya, selain terhindar dari perbuatan buruk dan dosa, juga akan mengerjakan pekerjaannya dengan cara terbaik, atau disebut shaleh. Apa yang dilakukannya bukan semata-mata untuk memenuhi tugas dan kewajibannya, melainkan dipandang memiliki nilai transenden, sehingga harus dilakukan dengan cara yang terbaik itu. Oleh karena itu, berdzikir atau ingat Allah dan Rasul-Nya dipastikan akan meningkatkan kualitas amalnya.
Sebaliknya dengan mudah dapat dipastikan, bahwa pekerjaan apapun yang dijalankan dengan cara menyimpang, mengabaikan mutu, boros, dan apalagi korup, sebenarnya hati para pelakunya dipastikan tidak pernah mengingat Allah dan Rasul-Nya. Apa yang dilakukannya hanya sebatas untuk memperoleh upah, keuntungan, dan hal lain yang bersifat rendah, yaitu mengikuti hawa nafsunya. Maka hasilnya juga akan menjadi buruk, rendah atau tidak berkualitas sebagaimana sifat hawa nafsu itu sendiri.
Oleh karena itu, memperbaiki bangsa, sebenarnya tidak terlalu sulit, yaitu mengajak selalu berdzikir, yaitu ingat Allah dan Rasul-Nya tanpa henti, sepanjang waktu. Siapapun yang ingat dan mengikuti Allah dan Rasul-Nya, akan melakukan apa saja dengan cara terbaik, atau beramal shaleh. Ingat terhadap sesuatu yang agung dan mulia, akan menjadi mulia. Sebaliknya, mengingat sesuatu yang rendah dan apalagi buruk, maka akan menghasilkan sesuatu yang buruk pula. Kualitas seseorang akan tergantung pada apa dan siapa yang diingat. Islam mengajarkan agar seseorang selalu ingat pada Allah dan Rasul-Nya, oleh karena itu apa yang dilakukan seharusnya meraih hasil terbaik dan mulia. Wallahu a�lam -
Sumber: imamsuprayogo.com