Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Prof Imam Suprayogo : Harta, Kuasa, Dan Penjara

Senin, 25 April 2016 | 09.54 WIB Last Updated 2016-04-25T02:54:28Z
Hubungan antara ketiga kata di dalam judul tulisan ini, yaitu harta, kuasa, dan penjara,  terasa semakin dekat.  Banyak orang berebut harta untuk mendapatkan kuasa, dan atau berebut kuasa untuk mendapatkan harta. Perebutan itu berpotensi mengantarkan yang bersangkutan masuk  ke  penjara.  Kenyataan itu sebenarnya sudah sedemikian jelas, namun ternyata masih saja didekati oleh banyak orang. Mereka yang   berusaha mendekatri itu juga bukan orang bodoh, melainkan adalah justru orang yang disebut atau mengaku dirinya pintar.

Harta memang penting dimiliki dan demikian pula kekuasaan. Dengan  memiliki harta yang cukup, maka seeorang akan dengan mudah memenuhi berbagai jenis kebutuhan dan keinginannya. Orang yang berharta juga akan dihormati oleh orang lain, berpeluang  menolong sesamanya, hidupnya tidak akan berkekurangan, dan juga tidak akan  menjadi beban orang lain.  Intinya,  harta memang menjadi penting dimiliki oleh siapapun.

Oleh karena itu berusaha mendapatkan harta sebanyak-banyaknya adalah bukan menjadi sesuatru yang salah atau keliru.  Justru sebaliknya, orang yang malas bekerja dan hanya menggantungkan diri pada belas kasihan orang lain  adalah keliru. Hanya saja di dalam mencari harta harus selektif, yaitu seharusnya dilakukan secara benar dan  harus memilih  yang halal, baik, dan berkah.

Selain itu, harta yang diperoleh  harus disucikan dengan memberikan sebagiannya kepada orang lain sebagai hak mereka,  baik melalui zakat, infaq, shadaqoh, dan lainnya. Harta juga tidak boleh dikuasainya sendiri. Melakukan monopoli, tamak, menimbun hingga menjadikan orang lain kesulitan mendapatkannya, juga tidak diperbolehkan. Harta dalam kehidupan ini hendaknya memiliki nilai sosial.

Demikian pula kekuasaan, adalah penting dimiliki oleh seseorang. Berbekalkan  kekuasaan, seseorang akan bisa mewujudkan kedamaian, keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan. Kekuasaan bukan untuk memenuhi nafsunya, melainkan seharusnya dipahami sebagai amanah yang harus ditunaikan sebagai bagian dari upaya untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Jika demikian itu motif  mendapatkannya, maka jelas tidak keliru.

Sebaliknya, jika kekuasaan hanya sebatas untuk memenuhi nafsunya, dan memperolehnya ditempuh dengan cara yang tidak benar,  hingga berlebihan atau melampaui  batas, maka  sebenarnya hal itu tidak diperbolehkan. Amanah adalah merupakan beban yang harus dipertanggung-jawabkan. Sehingga sebenarnya, adalah merupakan hal aneh manakala amanah itu harus dicari melalui cara-cara yang berlebih-lebihan hingga mengorbankan nilai-nilai yang seharusnya dipelihara sebaik-baiknya.    

Namun pada kenyataannya, akhir-akhir ini berebut harta dan kuasa  sudah dianggap sebagai sesuatru yang lazim, wajar, dan bahkan dianggap seharusnya dilakukan. Orang yang ikut berebut dianggap terhormat, hebat, pemberani, dan juga pintar. Demikian pula sebaliknya, orang yang tidak berani berebut dianggap lemah dan  atau  tidak berdaya. Padahal akibat perebutan yang melampaui batas itu, ternyata menjadikan banyak orang masuk penjara. Besarnya nafsu untuk mendapatkan harta sebanyak-banyaknya dan juga kuasa yang setinggi-tinginya,  seseorang  menempuh cara yang tidak benar, dan pada akhirnya dipenjarakan.

Harta dan kuasa yang semula dipandang akan menyelematkan dan bahkan menaikan harkat dan martabat dirinya, maka ternyata hasilnya justru berbalik, yaitu dipenjarakan. Dua hal tersebut, yakni harta dan kuasa, jika cara memperoleh dan menggunakannya tidak benar, maka ternyata tidak menyelamatkan atau membahagiakan,  tetapi  justru sebaliknya, yaitu  mencelakakan dirinya.  Selain itu, tatkala sudah jatuh, yang bersangkutan tidak tampak kepintarannya, tetapi yang kelihatan adalah jutru kebodohannya. Wallahu a’lam     

Sumber : Imamsuprayogo
×
Berita Terbaru Update