Membuat pergurguan tinggi memiliki nama besar, populer, dan diakui secara luas, ternyata tidak mudah. Sekalipun usaha itu dilakukan dengan berbagai cara, strategi, dan dilakukan dalam waktu lama, tetapi ternyata hanya beberapa saja yang berhasil. Banyak perguruan tinggi, dari tahun ke tahun, keberadaannya tetap saja tidak dikenal. Dengan demikian, dirasakan sangat sulit membangun perguruan tinggi hingga dikenal luas dan mernyandang nama besar.
Misi utama perguruan tinggi sebenarnya adalah mengembangkan ilmu pengetahuan melalui kegiatan riset, pendidikan dan pengajaran, serta melakukan pengabdian pada masyarakat. Namun pada kenyataannya banyak perguruan tinggi yang hanya berfokus terbatas, yaitu pada kegiatan pendidikan dan pengajaran. Sehari-hari para dosennya hanya disibukkan pada kegiatan mengajar atau memberi kuliah sesuai jadwal yang ditentukan.
Tatkala para dosen di perguruan tinggi dimaksud sudah berhasil memberikan kuliah sebagaimana target yang ditentukan, maka dianggap berhasil. Tugas mereka dianggap selesai. Sekalipun para dosen dimaksud tidak pernah memiliki gagasan yang ditulis dan didokumentasikan, asalkan masuk kampus pada setiap hari dan terekam dalam buku daftar hadir atau fingerprint, maka mereka dikategorikan sebagai dosen berprestasi. Ukuran prestasi para dosen hanya sederhana, yaitu rajin masuk kampus dan memberi kuliah.
Demikian pula ukuran prestasi institusinya, asalkan telah memiliki sarana dan prasarana dengan ukuran tertentu, memiliki sejumlah dosen, kurikulum, sumber keuangan yang memadai, jumlah mahasiswa, dan berhasil menyelenggarakan wisuda pada waktunya, maka perguruan tinggi yang bersangkutan telah dianggap berhasil. Sedangkan hal yang lebih mendasar, misalnya apakah perguruan tinggi berhasil memperoleh temuan baru dari hasil riset para dosennya dan juga karya-karya nyata inovatif yang berhasil dilakukan sebagai bagian dari pengabdian masyarakat, dan sejenisnya ternyata belum selalu menjadi ukuran. Akhirnya apa yang dilakukan oleh perguruan tinggi baru sebatas bersifat rutin dan monoton.
Prestasi yang terbatas seperti digambarkan tersebut disebabkan oleh karena tidak adanya dosen atau guru besar yang memiliki nama hingga diakui atas dasar karya-karya akademiknya. Namun harus diakui bahwa memang tidak gampang perguruan tinggi melahirkan nama besar dalam pengembangan ilmu. Banyak orang berkeyakinan bahwa, dosen berkualitas hanya bisa diperoleh dengan cara mengirimkan tenaga pengajarnya ke luar negeri, ke berbagai perguruan tinggi terbaik, agar yang bersangkutan memiliki tradisi dan budaya akademik, yakni budaya pengembangan ilmu. Akan tetapi, banyak pengalaman menunjukkan bahwa, lulusan perguruan perguruan tinggi hebat pun ternyata masih tetap pada aslinya, yaitu tidak selalu mau meneliti dan menulis.
Kesulitan mengembangkan kualitas dosen itulah yang menjadikan perguruan tinggi tidak cepat dikenal dan dipercaya oleh kalangan luas. Akhirnya perguruan tinggi hanya sekedar untuk mendapatkan ijazah dan gelar sarjana. Keterbatasan jumlah dosen berprestasi seringkali disebabkan oleh budaya perguruan tinggi yang bersangkutan. Para dosen tidak mudah dipacu untuk berkompetisi pada pengembangan keilmuan, karena mereka terbelenggu oleh idiologi yang kontra produktif dengan budaya ilmu, terutama hal itu banyak terjadi di lingkungan perguruan tinggi yang berbasis agama. Berbagai latar belakang aliran, madzhab, organisasi sosial keagamaan, oleh karena sifat subyektifitas, tertutup dan irasional, ���maka diakui atau tidak, semua itu ikut andil memperlambat perkembangan budaya keilmuan.
Umpama saja misi pokok perguruan tinggi sebagaimana disebutkan di muka berhasil dikembangkan, maka akan melahirkan orang yang berpikiran, berjiwa, dan berkarya besar, sebagai modal perguruan tinggi dimaksud dikenal luas. Tetapi pada kenyataannya justru sebaliknya, yaitu sehari-hari warga kampus masih banyak terbelenggu oleh persoalan rutin, teknis, berjangka pendek, dan masih ditambah lagi dengan berbagai hambatan lainnya. Akibatnya, perguruan tinggi yang bersangkutan semakin tenggelam dan akhirnya hanya akan menjadi cerita sejarah yang tidak menarik. Berani membuka diri untuk bersaing, menumbuh kembangkan semua potensi yang ada secara maksimal, berorientasi pada kualitas, mampu berpikir jangka panjang, dan pandai membaca tanda-tanda zaman, maka semua itu adalah merupakan pintu-pintu yang harus dibuka agar perguruan tinggi menjadi maju, menyandang nama besar, dan dikenal luas. Wallahu a�lam.
Misi utama perguruan tinggi sebenarnya adalah mengembangkan ilmu pengetahuan melalui kegiatan riset, pendidikan dan pengajaran, serta melakukan pengabdian pada masyarakat. Namun pada kenyataannya banyak perguruan tinggi yang hanya berfokus terbatas, yaitu pada kegiatan pendidikan dan pengajaran. Sehari-hari para dosennya hanya disibukkan pada kegiatan mengajar atau memberi kuliah sesuai jadwal yang ditentukan.
Tatkala para dosen di perguruan tinggi dimaksud sudah berhasil memberikan kuliah sebagaimana target yang ditentukan, maka dianggap berhasil. Tugas mereka dianggap selesai. Sekalipun para dosen dimaksud tidak pernah memiliki gagasan yang ditulis dan didokumentasikan, asalkan masuk kampus pada setiap hari dan terekam dalam buku daftar hadir atau fingerprint, maka mereka dikategorikan sebagai dosen berprestasi. Ukuran prestasi para dosen hanya sederhana, yaitu rajin masuk kampus dan memberi kuliah.
Demikian pula ukuran prestasi institusinya, asalkan telah memiliki sarana dan prasarana dengan ukuran tertentu, memiliki sejumlah dosen, kurikulum, sumber keuangan yang memadai, jumlah mahasiswa, dan berhasil menyelenggarakan wisuda pada waktunya, maka perguruan tinggi yang bersangkutan telah dianggap berhasil. Sedangkan hal yang lebih mendasar, misalnya apakah perguruan tinggi berhasil memperoleh temuan baru dari hasil riset para dosennya dan juga karya-karya nyata inovatif yang berhasil dilakukan sebagai bagian dari pengabdian masyarakat, dan sejenisnya ternyata belum selalu menjadi ukuran. Akhirnya apa yang dilakukan oleh perguruan tinggi baru sebatas bersifat rutin dan monoton.
Prestasi yang terbatas seperti digambarkan tersebut disebabkan oleh karena tidak adanya dosen atau guru besar yang memiliki nama hingga diakui atas dasar karya-karya akademiknya. Namun harus diakui bahwa memang tidak gampang perguruan tinggi melahirkan nama besar dalam pengembangan ilmu. Banyak orang berkeyakinan bahwa, dosen berkualitas hanya bisa diperoleh dengan cara mengirimkan tenaga pengajarnya ke luar negeri, ke berbagai perguruan tinggi terbaik, agar yang bersangkutan memiliki tradisi dan budaya akademik, yakni budaya pengembangan ilmu. Akan tetapi, banyak pengalaman menunjukkan bahwa, lulusan perguruan perguruan tinggi hebat pun ternyata masih tetap pada aslinya, yaitu tidak selalu mau meneliti dan menulis.
Kesulitan mengembangkan kualitas dosen itulah yang menjadikan perguruan tinggi tidak cepat dikenal dan dipercaya oleh kalangan luas. Akhirnya perguruan tinggi hanya sekedar untuk mendapatkan ijazah dan gelar sarjana. Keterbatasan jumlah dosen berprestasi seringkali disebabkan oleh budaya perguruan tinggi yang bersangkutan. Para dosen tidak mudah dipacu untuk berkompetisi pada pengembangan keilmuan, karena mereka terbelenggu oleh idiologi yang kontra produktif dengan budaya ilmu, terutama hal itu banyak terjadi di lingkungan perguruan tinggi yang berbasis agama. Berbagai latar belakang aliran, madzhab, organisasi sosial keagamaan, oleh karena sifat subyektifitas, tertutup dan irasional, ���maka diakui atau tidak, semua itu ikut andil memperlambat perkembangan budaya keilmuan.
Umpama saja misi pokok perguruan tinggi sebagaimana disebutkan di muka berhasil dikembangkan, maka akan melahirkan orang yang berpikiran, berjiwa, dan berkarya besar, sebagai modal perguruan tinggi dimaksud dikenal luas. Tetapi pada kenyataannya justru sebaliknya, yaitu sehari-hari warga kampus masih banyak terbelenggu oleh persoalan rutin, teknis, berjangka pendek, dan masih ditambah lagi dengan berbagai hambatan lainnya. Akibatnya, perguruan tinggi yang bersangkutan semakin tenggelam dan akhirnya hanya akan menjadi cerita sejarah yang tidak menarik. Berani membuka diri untuk bersaing, menumbuh kembangkan semua potensi yang ada secara maksimal, berorientasi pada kualitas, mampu berpikir jangka panjang, dan pandai membaca tanda-tanda zaman, maka semua itu adalah merupakan pintu-pintu yang harus dibuka agar perguruan tinggi menjadi maju, menyandang nama besar, dan dikenal luas. Wallahu a�lam.
Sumber : Imamsuprayogo.com