Kerincigoogle.com, Dalam kunjungan ke Pantianak dan Ketapang, Kalimantan Barat, pada tanggal 11 Januari 2016, saya mendapatkan kesempatan yang saya rasakan sangat indah, yaitu ikut mengaji bersama para akademisi di kota Pontianak. Saya juga datang di Kabupaten Ketapang dalam rangka mengikuti dua kegiatan, yaitu peresmian masjid dan memberi kuliah umum di Sekolah Tinggi Agama Islam al Haudl yang berada di kabupaten itu.
Baik di Ketapang maupun di Pontianak, saya memperoleh kesan yang amat menarik, yaitu terbangun persatuan para tokoh agama Islam di kedua kota itu. Selama ini saya merindukan adanya kebersamaan di antara para tokoh Islam. Beberapa kali saya menulis artikel tentang betapa pentingnya kebersamaan dan persatuan para tokoh Islam. Melalui tulisan itu, saya bermaksud mengingatkan bahwa persatuan adalah menjadi salah satu ajaran Allah dan Rasul yang penting dan seharusnya diikuti oleh umatnya.
Banyak pembaca tulisan dimaksud dan kemudian mengapresiasi bahwa hal itu amat penting, tetapi juga sebaliknya, ada yang mengingatkan bahwa persatuan di antara umat tidak akan mungkin bisa diwujudkan. Berbeda di antara umat dan bercerai berai dianggapnya sudah menjadi sunnatullah. Perpecahan itu tidak akan mungkin bisa dihindari. Sebagai alasannya, manusia memiliki semangat untuk berbeda, menang sendiri, tidak selalu mau menghormati dan menghargai orang lain, menyukai permusuhan, sombong, dan sejenisnya. Atas dasar kenyataan itu, memperjuangkan persatuan dianggap sebagai pekerjaan sia-sia, dan tidak akan membawa hasil.
Peringatan dari seorang pembaca tulisan dimaksud, saya memahaminya, namun bukan berarti saya berputus asa memperjuangkan konsep atau nilai yang mulia itu. Saya masih tetap berkeyakinan bahwa persatuan adalah penting dan harus diperjuangkan oleh segenap umatnya sendiri. Bagi saya, memperjuangkan persatuan seharusnya sama dengan berusaha shalat berjama�ah pada setiap pagi di Masjid. Kita lihat sendiri bahwa, tidak sedikit orang yang semula tidak percaya, bahwa shalat subuh berjama�ah di masjid bisa digerakkan. Namun ternyata, pada akhir-akhir ini di beberapa tempat shalat subuh di masjid menjadi kesenangan. Kiranya persatuan juga demikian, semula dianggap aneh, tetapi pada saatnya akan diperjuangkan bersama-sama.
Sejak beberapa bulan yang lalu, saya dipercaya menjadi Ketua Umum Jam�iyyatul Islamiyah se Indonesia. Semula saya khawatir, dengan organisasi yang kepemimpinannya diserahkan pada saya itu justru menambah perpecahan umat. Organisasi bertambah dan kemudian menambah jumlah kelompok umat Islam. Namun setelah beberapa lama saya pelajari, ternyata apa yang saya khawatirkan tidak terjadi. Jam�iyyatul Islamiyah bukan organisasi alternatif, artinya sebatas menambah jumlah, melainkan berusaha memperkecil kekurangan yang ada. Dengan memposisikan diri seperti itu, maka kehadiran organisasi dimaksud diperlukan.
Kegiatan Jam�iyyatul Islamiyah adalah berusaha mengajak semua kaum muslimin untuk memahami al Qur�an dan Hadits Nabi secara rutin dan terus menerus tanpa henti. Belajar tentang kedua sumber ajaran Islam itu tidak boleh mengenal final, berhenti, dan atau merasa cukup. Belajar al Qur�an merupakan fardhu �ain dan tidak mengenal batas umur seseorang, dan juga waktu. Boleh saja orang mengatakan bahwa ia telah selesai menghatamkan membacanya, tetapi tentu tidak akan sampai tuntas dalam memahami ayat-ayat kitab suci dimaksud. Atas dasar pandangan itulah di antaranya, Jam�iyyatul Islamiyah hadir untuk mengajak siapa saja memahami al Qur�an dan Hadits Nabi serta mengamalkannya.
Ketika saya berada di kota Pontianak, menyempatkan untuk mengikuti kegiatan mengaji al Qur�an yang dilakukan oleh para akademisi, baik dari IAIN Pontianak maupun dari Universitas Tanjung Intan. Kegiatan itu diprakarsai oleh Jam�iyyatul Islamiyah Provinsi Kalimantan Barat. Organisasi itu memiliki kegiatan rutin, yaitu mengkaji al Qur�an dan Hadis Nabi, pada setiap Hari Senin malam dengan mengambil tempat di Rumah Adat Melayu yang berada di kota itu. Pada waktu itu, tidak kurang dari 300 orang, terdiri atas para Guru Besar, dosen, dan ilmuwan, ikut mengaji di tempat itu. Di tengah-tengah kegiatan dimaksud, saya membayangkan andaikan di berbagai kota lain juga dilakukan kegiatan semacam itu, maka para ilmuwan atau akademisi akan memahami dua jenis sumber ilmu sekaligus, yaitu ayat-ayat kawniyah dan sekaligus ayat-ayat qowliyah. Sungguh indah sekali. Wallahu a�lam.
Sumber ; http://imamsuprayogo.com