Kerincigoogle.com, Sebutan sebagai orang jujur diberikan kepada orang yang dipercaya. Antara suara hati, ucapan, dan perbuatan yang bersangkutan padu. Apa yang menjadi suara hatinya itulah yang diucapkan, dan itu pula yang dilakukan. Antara ketiga aspek, yaknoi hati, bibir dan tindakannya tidak berjarak. Maka, itulah yang disebut jujur.
Memadukan ketiga anggota tubuh tersebut tidak mudah. Banyak orang yang antara suara hati dan ucapannya tidak sama. Dan, demikian pula dengan apa yang dilakukannya. Padahal memahami seseorang biasanya dari ucapan dan tindakannya itu. Sekedar memadukan antara apa yang diucapkan dan yang dilakukan saja ternyata tidak semua orang berhasil. Apalagi, masih ditambah dengan menyatukan pula dengan apa yang ada di dalam hati.
Menjadi jujur tidak ada sekolahnya. Juga tidak ada lembaga pendidikan yang berani mengiklankan, bahwa lulusannya ditanggung mampu berbuat jujur. Banyak orang beriklan bahwa lulusan lembaga pendidikan yang dikelola akan menjadi profesional, cerdas, dan cepat memperoleh pekerjaan, tetapi tidak demikian dengan kejujuran. Kejujuran bersumber dari hati. Seseorang yang hatinya bersih dan bercahaya, maka akan menjadi jujur. Sayangnya tidak ada lembaga pendidikan yang sanggup menjadikan hati seseorang bersih dan bercahaya itu.
Kejujuran tidak berkorelasi dengan tingkat pendidikan. Tidak dijamin bahwa orang yang berpendidikan tinggi dan bergelar akademik puncak pasti jujur dan demikian pula sebaliknya. Jujur juga tidak terkait dengan jabatan. Orang yang berjabatan tinggi tidak ada jaminan pasti jujur. Mungkin saja, seseorang kelihatannya jujur, tetapi pada saat kemudian, ketidak jujurannya tampak dengan jelas. Persyaratan menduduki jabatan tertentu juga harus jujur, tetapi kejujuran yang dimaksud sebenarnya sekedar basa-basi.
Jujur juga tidak selalu tergambar dari ucapan yang bersangkutan. Banyak orang mengaku bahwa dirinya jujur, tetapi pada kenyataannya tidak selalu demikian. Orang yang selalu mengaku jujur, ternyata justru sebaliknya. Sedangkan orang yang tidak pernah menyebut dirinya jujur, ternyata malah jujur. Maka, memang sulit untuk mendeteksi, siapa sebenarnya, orang yang disebut jujur itu.
Sedemikian sulit untuk mengetahui tingkat kejujuran seseorang, sehingga perkantoran, instansi pemerintah, organisasi, perusahaan, dan lain-lain, memberlakukan pelaporan dan admisnistrasi keuangan secara ketat. Bahwa suatu laporan keuangan atau pengeluaran anggaran dianggap benar, jika telah ditunjukkan bukti-buktinya. Bukti itu berupa kualitansi atau dalam bentuk lain yang bisa dipercaya. Kuintasi atau laporan itu biasanya diperkuat, misalnya, setelah dibubuhi materai dengan jumlah tertentu.
Agar diperoleh kepastian adanya kejujuran, dalam pelaksanaan pembangunan misalnya, terutama yang berada di instansi pemerintah, selalu dilengkapi dengan lembaga pengawasan, pemeriksa keuangan, konsultan, dan lain-lain. Semua itu dimaksudkan agar kejujuran bisa ditegakkan, dan penyimpangan bisa dicegah semaksimal mungkin. Namun pada kenyataannya, seketat apapun alat bukti berupa kualitansi atau bentuk laporan lainnya dimaksud, ternyata masih bisa dipalsukan. Seolah-olah barang bukti itu ditulis dengan benar, tetapi sebenarnya dipalsukan.
Demikian pula, pihak perancang, pengawas, pelaksana, dan auditor bisa saja bekerjasama untuk mendapatkan keuantungan. Dengan demikian ternyata, kejujuran sangat tidak mudah diwujudkan. Administrasi serapi apapun, pengawasan seketat apapun, pemeriksa keuangan sehebat apapun, tetapi manakala hati para pelaksana itu kotor atau tidak bersih, maka penyelewengan masih bisa dilakukan. Orang yang berhati kotor, dengan sangat mudah menyelewengkan apa yang seharusnya dijaga sebalik-baiknya.
Demikian pula sebaliknya, manakala hati seseorang yang melakukan kegiatan itu bersih dan sehat, maka tanpa pengawasan, laporan, kuitansi, dan lain-lain, kejujuran bisa ditegakkan. Kejujuran bersumber dari hati dan bukan dari catatan atau dokumentasi. Catatan dimaksud seolah-olah benar, tetapi sesungguhnya hanya bersifat formalitas belaka. Seakan-akan jujur, namun pada kenyataannya jauh dari harapan ideal itu. Maka, kunci kebenaran dan kejujuran selalu terletak pada hati yang bersih dan sehat dari orang yang menjalankannya. Wallahu a�lam.
Sumber : http://imamsuprayogo.com/